Rabu, 20 Maret 2013
Bangsa yang Suka Memelihara Kebodohan, Maruk & Mudah Tersinggung
07.59 |
Diposting oleh
Guruntala |
Edit Entri
Bab 26 novel Manjali
dan Cakrabirawa tulisan Ayu Utami
rupanya terinspirasi oleh pendapat Mochtar
Lubis tentang “Manusia Indonesia”.
Menarik untuk direnungkan. Mochtar Lubis mengajak kita semua berkaca. Pendapat
Mochtar Lubis yang dilontarkan pada 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki ini
masih relevan hingga saat ini. Manusia Indonesia belum berubah.
Berikut kutipan novel “Manjali dan Cakrabirawa” tentang ketololan manusia Indonesia yang percaya
pada seseorang yang mengaku dihipnotis:
“Pegawai dinas kepurbakalaan yang membawa temuan kita itu
dirampok di perjalanan,” kata Parang Jati sambil menyimpan telepon.
“Bapak minta saya kembali ke candi, “kata Parang Jati.
Jacques terdiam. Marja juga terdiam. Ia mulai mengenal Jacques.
Meskipun pria itu seorang ilmuwan yang rasional, ada sisi lain padanya yang
terbuka bagi hal-hal supranatural. Tidak. Jacques tidak menggunakan kata itu:
supranatural. Jacques menyebutnya metafisik. Meta, dalam bahasa Yunani, artinya
di atas atau melampaui. Metafisik adalah sesuatu yang melampaui alam benda.
Orang Jawa menyebutnya sebagai perkara gaib. Hal-hal gaib atau metafisik ini
barangkali bagian dari natur, alam, juga.
Jacques terbuka pada kemungkinan bahwa Suhubudi dekat dengan
dunia metafisik. Suhubudi dekat dengan dunia para roh dan makhluk halus, dekat
dengan dimensi lain. Karena itu, jika guru spiritual itu menyuruh anaknya untuk
kembali ke candi, barangkali dia tidak mengada-ngada. Agaknya tak cukup hanya
orang-orang desa yang berjaga-jaga di sana. Meskipun demikian, Jacques jauh
dari percaya penuh. Apalagi untuk sesuatu yang tidak bisa diukur. Karena itu ia
selalu berkata, “Hm-mh. Kita lihat saja nanti.”
Kali ini Jacques agaknya sangat geram dengan perampokan itu.
“Dasar maling!” lelaki tua itu mengumpat. “Menurut kamu, ini
perampokan biasa atau bukan, jati?”
“Dasar bangsa maling!”
umpat Jacques lagi. “Dari dulu saya tidak terlalu percaya pada orang-orang
dinas kepurbakalaan.”
Parang Jati tidak bisa membantah Jacques bahwa perampokan ini
bukan perampokan pada umumnya, meskipun modusnya biasa. Mobil mengalami pecah
ban. Ketika pengendara berhenti untuk mengganti ban, mereka didatangi beberapa
orang dan, begitulah, mereka dirampok.
Ketika mampir di bengkel tempat mobil itu telah diderek,
mereka melihat ban yang pecah itu. Si pegawai dinas kepurbakalaan ada di sana
untuk mengurus mobilnya setelah melapor pada polisi. Lelaki kurus kecil itu
tampak baik-baik saja. Hanya sedikit gugup. Jacques menyalaminya sambil mengatakan
keprihatinan.
“Jadi, orang-orang itu membius anda?’ tanya Jacques.
“S-sayatidak dibius. S-saya dihipnotis,” jawab orang itu
dengan gugup.
“Dihipnotis? Oh lala!”
Marja sering mendengar tentang perampokan dengan hipnotis. Si
perampok menepuk bahu dan mengajak korban mengobrol. Setelah itu, korban akan menyerahkan
segala yang diminta. Bahkan, korban bisa melakukan yang paling gila. Seperti
pulang ke rumah, mengambil buku tabungan atau kartu deposito, mencairkan
uangnya di bank dan menyerahkannya pada si perampok.
“Saya dihipnotis. Lalu orang itu bilang bahwa dia akan
mengantar semua artefak yang baru saya terima itu ke kantor dinas.”
“Dan Anda percaya?”
“Sudah saya bilang, saya dihipnotis.”
Mereka kembali ke pelataran candi Calwanarang untuk menginap
lagi di sana, seperti diminta Suhubudi. Di sekitar api unggun Jacques tua masih
terus mencemooh pengakuan si pegawai dinas kepurbakalaan. “Dihipnotis, katanya? Oh la la! Mana mungkin orang bisa percaya pada
pengakuan seperti itu. Tolol betul orang di sini bisa percaya!”
“Tapi memang banyak kok kejadian begitu di Indonesia,” kata Marja
sungguh-sungguh. “Tantenya temanku ada yang kena. Dia sedang jalan kaki ke
pasar, tiba-tiba ada yang menepuk bahunya. Terus, habis semuanya. Perhiasan,
deposito...”
“O ya? Mungkin saja
itu terjadi hanya pada orang tolol. Tapi, ahli hipnotis tidak akan mencari
korban di tengah hutan. Mereka akan beroperasi ditengah kota. Bukan begitu,
nona?”
“Iya juga sih.”
Mengaku dihipnotis
adalah cara paling aman untuk persekongkolan. Korban tidak perlu menunjukkan
bekas kekerasan. Apalagi, hipnotis memang dianggap modus kejahatan yang ada di
Indonesia. Bahkan polisi menerima itu. “Di Prancis, pengakuan seperti itu pasti
dianggap kebohongan oleh polisi. Mana ada perusahaan asuransi bersedia membayar
ganti kehilangan jika korbannya mengaku dihipnotis?”
“Saya kira orang
Indonesia memang suka memelihara kebodohan,“ Jacques melanjutkan omelannya.
Jacques tua terus mengoceh, ‘Pada gilirannya, relasi
orang-orang Indonesia dengan roh-roh halus menjelma relasi yang fungsional dan
materialistis belaka. Dulu, hubungan manusia di Tanah Jawa ini dengan leluhur
serta makhluk halus bersifat timbal-balik. Orang-orang Jawa menghormati roh-roh
dan roh-roh menjaga alam. Sekarang, hal-hal gaib dan metafisik itu cuma dipercaya
untuk mencari keuntungan. Menyantet. Pesugihan. Hipnotis.
“Hipnotis kan tidak ada hubungannya dengan dunia halus,
Jacques!” Parang Jati menyela dengan nada tidak sabar.
“Ya betul. Tapi saya sedang bicara tentang pola pikir bangsa
ini, Parang Jati,” bantah Jacques. “Ini
bangsa yang aneh. Di satu pihak, perbuatan mereka sama sekali tidak menghormati
leluhurnya. Lihatlah, mereka tak peduli sejarah, merusak candi dan banyak
peninggalan lain, merampok dan menjualnya untuk
kepentingan sendiri. Seperti orang dinas kepurbakalaan itu.
“Di pihak lain, mereka sangat ideologis. Contohnya, para
arkeolog Jawa itu. Arkeolog di tanah ini didominasi orang-orang yang menyukai
klenik. Mereka mencari-cari kebenaran yang menyenangkan ideologi dan harga diri
mereka saja.”
“Itu tidak benar, Jacques!” tukas Parang Jati. Marja melihat
bahwa Parang Jati jengkel dengan pendapat-pendapat Jacques.
Tapi Parang Jati tidak bisa membantah ketika Jacques berkata
bahwa arkeologi di Indonesia tidak berhubungan dengan ilmu-ilmu lain. Arkeologi
terpenjara pada ilmu sastra kuno dan klenik. “Misalnya, mana ada penelitian
teknik sipil atau industri terhadap candi-candi oleh peneliti Indonesia?” kata
Jacques. Parang Jati tidak bisa menjawab karena memang ia tidak tahu. Jacques melanjutkan serangannya tentang
karakter bangsa ini yang disebutnya malas, mau gampang, dan doyan takhayul.
Akhirnya Parang Jati berdiri dan berkata bahwa ia tidak ingin
melanjutkan percakapan. “Satu hal, Jacques. Data-data saya memang kurang. Tapi, malam ini kamu betul-betul seorang
esensialis! Kamu bilang karakter orang Indonesia begini-begitu, seolah-olah
saya dan maling artefak itu punya karakter yang sama. Yaitu karakter bangsa
Indonesia.”
“Oui. Bukankah sebuah bangsa memang harus punya karakter? Kalau
tidak, namanya bangsa tidak berkarakter?”
Marja tak mengerti mengapa Jacques juga sedang berpanas hati.
Ia merasa perdebatan ini telah menjadi tidak bermutu. Jacques tua mencarut
tanpa arah, tetapi Parang Jati juga terlalu peka dan mudah merasa diserang. Parang
Jati meninggalkan api unggun itu dan pergi melihat-lihat keadaan candi
Calwanarang dengan senter, sebelum masuk ke dalam tenda. Jacques mengangkat
alis sambil menggeleng-gelengkan kepala dengan arogan, seolah-olah dia baru
membuktikan satu lagi karakter orang
Indonesia yang mudah tersinggung dan mutung dalam perdebatan. Marja
merasa bahwa energi negatif sedang
menguasai tempat ini. Kemudian ia teringat tentang hantu hutan banaspati, yang
diceritakan ibu tua itu, sesungguhnya karena kesedihan. Ia menyadari dirinya
banyak merenung dalam perjalanan ini.”
...
Ya, bangsa yang suka
memelihara kebodohan, malas, mau gampang, doyan tahayul, mudah tersinggung dan
mutung dalam perdebatan! Mari kita berkaca untuk melihat keburukan kita sendiri agar bisa
memperbaikinya.
Akhir-akhir ini saya membaca tentang RUU Santet yang sedang
digarap oleh DPR. Menarik sekali...Rancangan Undang-Undang tentang sesuatu yang
gaib!
Bila yang dihukum adalah benar pelaku santet atau hipnotis,
tentu tidak masalah. Bagaimana bila orang yang tidak bersalah dihukum karena
dilaporkan oleh orang yang tidak suka? Negeri ini punya sejarah dendam yang
panjang. Contohnya pada tragedi G30S 65. Banyak
guru-guru dan orang-orang yang tidak tahu apa-apa ikut terbunuh disebabkan oleh
laporan orang yang tidak suka. Dan kita semua sebagai satu bangsa saat ini
sedang menuai badai akibat pembunuhan ratusan ribu orang yang tidak bersalah.
Antara lain, pendidikan kita yang kurang berkualitas akibat terbunuhnya
guru-guru yang bagus! Dan lihatlah akibat pendidikan yang kurang berkualitas
itu. Lihatlah tingkah pejabat-pejabat kita saat ini. Kebanyakan maruk harta dan
jabatan! Tengoklah sejarah. Bagaimana para pahlawan kemerdekaan kita hidup
sangat sederhana. Bagaimana seorang Bung Hatta tidak mau membocorkan rahasia
“akan diberlakukan sanering” pada istrinya. Ibu Rachmi Hatta sampai menangis
karena, akibat sanering itu, beliau tidak bisa membeli mesin jahit dengan
tabungan yang sudah dikumpulkannya dengan susah payah.
Semoga kita semua tidak memelihara kebodohan. Marilah kita
belajar dari sejarah, agar kita semua tidak dikutuk untuk mengulangi sejarah
itu.
Terimakasih...Namaste _/l\_
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Translate
About Me
- Guruntala
- 🌹A dam mast qalandar. #BlessingsClinic 🌹Give some workshops: Meridian Face & Body Massage, Aromatherapy Massage with Essential Oils, Make up. 🌹Selling my blendid Face Serum. IG & twitter: @guruntala
2 komentar:
Saya pelanggan setia blog anda...
keep writing....
Wow...makasih banyak Daninda :)
Namaste _/l\_
Posting Komentar