Jumat, 15 November 2013
Cara Asyik Menulis Memoar / Travel Writing a la Agustinus Wibowo
18.36 |
Diposting oleh
Guruntala |
Edit Entri
Menarik membaca perbincangan LitBox @literarybox dengan Agustinus Wibowo @avgustin88 tentang
menulis memoir pada tanggal 15 November 2013 di twitter;p
Agustinus Wibowo adalah salah
satu penulis favorit saya. Rugi deh bila melewatkan buku-bukunya: Garis Batas, Selimut Debu, dan Titik Nol.
Berikut perbincangan LitBox
dengan Agustinus Wibowo :
LitBox @literarybox:
Apa alasan utama @avgustin88 menulis memoir? #WOTWQA
Agustinus Wibowo @avgustin88 :
1.1. Menulis memoir karena saya
sadar memori itu tidak abadi, suatu saat pasti akan pudar dan mati, terkubur
bersama pemiliknya.
1.2. Sebelum menulis, saya
dibebani begitu banyak memori yang campur aduk, rasanya sangat menyiksa.
1.3. Memori yang campur aduk itu
pun bagai masa lalu yang campur aduk, saya jadi penasaran apa makna hidup saya
selama ini.
1.4. Memoar buat saya juga adalah
perjalanan spiritual untuk menjawab berbagai pertanyaan filosofis dalam hidup,
dan bikin saya tetap hidup.
1.5. Memoar terbaru saya tulis
sebagai terapi psikologis, untuk membebaskan diri dari depresi karena kehilangan
orang yang paling saya cintai.
LitBox @literarybox: 2. Memulis memoir = menuliskan hidup @avgustin88
untuk dibaca banyak orang. Apa saja pertimbangan Mas Agus sebelum
menuliskannya?
Agustinus Wibowo @avgustin88:
2.1. Pertimbangan pertama adalah
alasan personal, untuk pribadi saya sendiri. mengabadikan memori dan menjawab
misteri hidup.
2.2. Dengan menulis memoar, masa
lalu yang berantakan itu ditata ulang, seperti puzzle, sehingga menjadi
berwujud nyata.
2.3. Menulis memoar juga
menyadarkan saya bahwa perjalanan hidup yang telah saya lewati adalah hidup
yang layak dijalani.
2.4. Dengan menulis memoar, saya
bisa semakin menghargai hidup, menghargai masa lalu, masa kini, dan impian masa
depan.
2.5. Alasan kedua, adalah
berbagi. Supaya pembaca bisa mendapat hikmah dari perjalanan saya tanpa harus
menjalani hidup saya.
2.6. Pertanyaan paling penting
dalam menulis memoar adalah “How far would you go?”, “Sejauh mana bisa kau
bagikan hidupmu untuk publik?”
2.7. Kurang detail bisa
menjadikan memoar kering, tidak nyata. Terlalu detail malah bikin boring dan ga penting.
2.8. Tantangan memoar adalah
bagaimana merangkum hidup dalam space
yang terbatas. Pembaca juga tak perlu& tidak ingin tahu semua hal.
2.9. Semakin dirangkum, yang kita
dapatkan adalah hal-hal yang paling esensial dari hidup kita. Kadang kita gak
dapatkan ini kalau bukan untuk berbagi.
LitBox @literarybox: Apakah semua pengalaman yang ditulis @avgustin88
itu nyata, atau untuk alasan tertentu ada yang “diperhalus/disamarkan”?
Agustinus Wibowo @avgustin88:
3.1. Memoar adalah karya non
fiksi, jadi semua harus realita, tidak boleh menciptakan realita.
3.2. Memoar yang ada unsur fiksinya,walaupun
sedikit, sudah bukan memoar, harus dilabeli sebagai novel/fiksi.
3.3 Intinya adalah penulis memoar
harus berusaha semaksimal mungkin setia pada kebenaran memorinya, walaupun
memori takselalu benar.
3.4. Memoar juga tidak berarti
semua hal harus dituliskan, bisa dipilah, bisa dikurangi detail untuk hal-hal
tertentu dsb.
3.5. Banyak pertimbangan untuk
menentukan mana yang harus ditulis, mana yang dihapus, tokoh mana yang harus
dijaga privasinya.
3.6. Beberapa tokoh saya juga
menggunakan nama/identitas samaran, demi melindungi privasi mereka. Dalam
memoar tak masalah.
LitBox @literarybox: 4. Banyak yang suka dan terharu dengan kisah Mama
di Titik Nol, @avgustin88. What drive did you have at that time to write &
share it in ur book?
Agustinus Wibowo @avgustin88:
4.1. Di saat-saat terakhir, baru
saya menyadari kisah Mama ternyata
adalah bagian penting dalam perjalanan saya.
4.2. Perjalanan untuk kebanyakan
orang adalah tentang pergi. Tapi pertemuan dengan Mama saat beliau sakit
menyadarkan saya perjalanan adalah untuk pulang.
4.3. Saat-saat menemani orang tua
yang hendak meninggal adalah saat-saat paling berat sekaligus paling
membahagiakan.
4.4. Setelah perjalanan jauh dan
pulang untuk melihat rumah/keluarga, saya belajar melihat dari sisi yang
berbeda.
4.5. Kita biasa take-for-granted
rumah/keluarga, padahal begitu banyak hak yang tidak kita ketahui tentang
rumah/keluarga kita sendiri.
4.6. Pada saat ini saya baru
mengenal masa kecil mama, mimpinya, cintanya, cemburunya, marahnya, rahasianya,
kebahagiaannya dll
4.7. Sosok ibu yang dulu
saya kira sudah saya kenal dekat, ternyata masih begitu
asing. Saya beruntung masih punya sedikit kesempatan mengenal beliau.
4.8. Hikmah inilah yang ingin
saya bagikan untuk pembaca. Perjalanan bukan hanya tentang tempat jauh,
perjalanan bisa di rumahmu sendiri.
LitBix @literarybox: 5. Ceritain pengalamannya nyamar jadi penduduk
Cina supaya bisa masuk ke Tibet dong, @avgustin88. Buat ngejar story?
Agustinus Wibowo @avgustin88:
5.1. Bukan buat ngejar story,
tapi terpaksa menyelundup ke Tibet karena aturan yang anti pengunjung asing.
5.2. Jadi orang asing yang ke
Tibet harus pake guide dan penerjemah, urus permit yang mahal, sewa mobil dsb.
Saya tak ada dana itu.
5.3. Dan saya tidak suka
perjalanan yang didikte, saya suka petualangan saya sendiri, jadi saya pilih
menyelundup.
5.4. Menyamar jadi warga Cina.
Paling takut kalo ada pos milisi/militer karena bisa dihukum/dideportasi .
Pernah hampir ketangkap.
5.5. Untunglah karena faktor
wajah dan bahasa, saya masih bisa selamat dengan menyamar sebagai warga Cina
Selatan.
5.6. Tibet yang menegangkan, di
masa awal perjalanan saya adalah proses mengalahkan ketakutan, pembuktian diri,
penaklukan tantangan.
6.1. Buku harian, itu kuncinya.
Tiap hari dalam perjalanan saya mencatat. Ini kemudian jadi harta karun tak
terhingga.
6.2. Saat menulis memori
keluarga, saya juga mewawancara banyak orang yang terlibat, sebagai verifikasi
apa yang saya ingat.
6.3. Di zaman sekarang ada banyak
teknologi untuk membantu memori: kamera, smartphone, videocam, dll. Alat bantu
no 1 masih kertas + pena.
6.4. Karena kertas dan pena bisa
mencatat detail emosi, perasaan, pemikiran kita saat itu. Alat bantu lain tidak
bisa.
6.5. Saat membaca ulang
oret-oretan saya dibuku harian, saya sering takjub karena banyak hal sebenarnya
sudah hilang di memori saya.
6.6. Memori tidak abadi. Saya
mending kehilangan uang daripada kehilangan buku harian di jalan.
6.7. Saat nulis memori Mama, saya
banyak terbantu oleh buku harian & surat-surat yang ditulis Mama. Memori
paling otentik adalah tulisan.
7.1. Sementara ini masih fokus di
non fiksi, jadi penulis perjalanan. Pengen sih belajar fiksi tapi tidak harus
jadi penulis fiksi.
7.2. Lagipula memoar itu bukan
biografi, bukan perjalanan kita seumur hidup, tapi hanya satu fragmen saja dari
perjalanan.
7.3. Kita hidup 30 tahun, 40
tahun, kalo semua pengalaman/kisah hidup ditulis bisa jadi 10 buku kalo bener
mau digali.
7.4. Saya menulis memoar melalui
travel writing/narasi perjalanan. Kuncinya adalah tetap melakukan perjalanan.
LitBox @literarybox: 8. Sejauh ini, dimana tempat favorit yang pernah
@avgustin88 kunjungi dan kenapa?
8.1. Kalo ini, sebenarnya yang
favorit bukan masalah tempat, tapi rasa. Tiap tempat menyisakan rasa berbeda.
8.2. Buat saya, pengalaman paling
berkesan adalah ketika jadi relawan di daerah bencana, misal di Aceh dan
Kashmir.
8.3. Karena di situ saya
bertatapan dengan sifat dasar manusia, bagaimana jika harus dihempaskan ke
titik terendah dalam hidup.
8.4. Daerah bencana juga
mengajarkan saya akan kehangatan kemanusiaan, semangat berbagi, dan semangat
bangkit dari kehancuran.
LitBox @literarybox 9. Berdasarkan pengalaman @avgustin88, apa resep
untuk jadi travel (and memoir) writer yang baik?
Agustinus Wibowo @avgustin88:
9.1. Yang pertama adalah
keingintahuan yang besar, banyak bertanya terhadap hal-hal yang bahkan kamu
kira kamu sudah tahu.
9.2. Berpikir kritis ini adalah
yang paling vital. Tanpa pemikiran, memoar dan catatan perjalanan jadi tidak
ada artinya.
9.3. Hal lain adalah menghindari
generalisasi. Ingat semua orang unik, punya kisah masing-masing, tidak boleh
dipukul rata.
9.4. Terutama dalam tulisan
travel, generalisasi sangat berbahaya dan memuakkan, menunjukkan pemikiran yang sempit dari penulisnya.
9.5. Hal berikutnya adalah jujur.
Kalo tulisan kamu ada unsur fiksi, sebutlah novel, jangan dilabeli sebagai
catatan perjalanan atau memoar.
9.6. Kebohongan dalam tulisan
nonfiksi adalah fatal, merusak kredibilitas. Kalo di LN bisa dituntut.
9.7. Catatan perjalanan yang
bagus dari interaksi yang bagus, memoar yang bagus dari perenungan yang dalam.
Soal teknik itu urusan belakangan.
LitBox @literarybox: 10. Minta rekomendasi 5 buku memoir yang oke
menurutmu dong.
Agustinus Wibowo @avgustin88:
10.1. Pastinya Imperium, karya Ryzard Kapuscinski, memoar + travelwriting tentang Uni Soviet.
10.2. Disini Kapuscinski yang
orang Polandia memandang masa kecilnya di zaman perang, lalu dia menjelajahi
garis batas Soviet.
10.3. Berikut, Tidak Ada Jalan yang Sama karya Yu Hua.
10.4. Yu Hua adalah novelis
China. Buku ini adalah kumpulan tulisan buku harian, dimulai dari kelahiran
anak lelakinya.
10.5. Dia menulis perjalanan
hidup dirinya, diparalelkan dengan anaknya yang bertumbuh dari bayi jadi
dewasa.
10.6. Baghdad without A Map karya Tony
Horwitz. Kisah perjalanan jurnalis US berdarah Yahudi di negara-negara
Timur Tengah.
10.7. From Beirut to Jerusalem, Thomas Friedman, kisah jurnalis di medan
perang Timur Tengah. Evocative banget.
10.9. Even Silence Has an End, Ingrid Betancourt. Kisah capres perempuan
Columbia yang ditulis pemberontak, 6 tahun di hutan.
Agustinus Wibowo @avgustin88:
@literarybox dan semoga
teman-teman terinspirasi nulis memoar. You
don’t need to be somebody to write a memoar, coz everybody has unique story.
Horeeee... Terimakasih telah
berbagi Koh Agustinus Wibowo dan Literary Box.
Terimakasih... Namaste _/l\_
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Translate
About Me
- Guruntala
- 🌹A dam mast qalandar. #BlessingsClinic 🌹Give some workshops: Meridian Face & Body Massage, Aromatherapy Massage with Essential Oils, Make up. 🌹Selling my blendid Face Serum. IG & twitter: @guruntala
0 komentar:
Posting Komentar