Sabtu, 25 Agustus 2012
The Namesake
15.32 |
Diposting oleh
Guruntala |
Edit Entri
Bersyukur
menemukan buku The Namesake karya Jhumpa Lahiri saat obral buku. Saya
sering mendapat kejutan saat pesta buku atau obral buku, bisa dapat buku yang
sudah tidak dijual lagi di toko buku. Saya pernah mendapatkan buku Grow Younger Live Longer karya Deepak Chopra dengan harga super
miring. Juga akhirnya mendapatkan buku I
Beg Your Prada karya Alexandra Dewi yang sudah saya cari kemana-mana.
Dan banyak buku menarik lainnya yang bisa diperoleh bila kita rajin berburu
buku saat obral, di toko buku bekas atau di Pesta Buku Jakarta.
Membaca
buku sastra membuat hidup terasa kaya. Tidak ada media yang bisa mengungkapkan
pengalaman seseorang manusia lebih detail daripada sebuah buku, imo. Saya pernah menonton film The Namesake beberapa tahun lalu, namun
buku bisa menggambarkan lebih detail.
The
Namesake menceritakan tentang seorang Ashoke Ganguli yang datang ke Amerika
membawa segudang harapan. Tragedi yang ia alami bertahun-tahun sebelumnya
membuat dia ingin memulai kehidupan yang benar-benar baru, berjuang melupakan
trauma. Sementara Ashima, istrinya, datang ke Amerika dengan selaksa kesedihan
karena harus meninggalkan kampung halaman yang begitu ia cintai.
Di
tengah berbagai perasaan yang berkecamuk itulah putra pertama mereka lahir.
Mereka memberinya nama Gogol. Nama yang kelak sangat dibenci anak itu.
Cerita
selanjutnya adalah cerita tentang seorang Gogol, anak seorang imigran India
yang tinggal di Amerika. Kisah tentang anak imigran India atau China yang
tinggal di Amerika juga dibahas pada novel-novel Amy Tan, Chitra Banerjee
Divakaruni, atau Kavita Daswani.
Bagaimana seorang anak yang dididik dengan budaya asal negara orang-tuanya
berbaur dengan budaya Amerika. Namun setiap orang punya cerita sendiri karena
setiap orang unik dengan pengalaman pribadi masing-masing.
Jadi
apa sebenarnya makna di balik sebuah nama? Jhumpa Lahiri memberikan
pandangannya pada novel The Namesake ini.
Buku
selanjutnya yang saya dapat saat obral adalah Minum Teh bersama Kartini karya Suryatini Ganie. Saya pernah membaca salah satu cerpen pada kumpulan
cerita ini di Majalah Pesona. Buku ini
bernuansa cinta dan misteri dengan latar belakang kota-kota yang indah seperti
Istanbul, Paris, Barcelona.
Buku
ini membuat saya merinding. Teringat dengan pengalaman Ibu saya saat anak
kemenakannya “pamit”. Ibu saya mendengar ada ketukan di pintu depan rumah.
Ketika Ibu membukanya, tak ada orang di depan pintu. Namun di kejauhan ada anak
yang melambaikan tangan kemudian pergi dalam rinai hujan. Beberapa hari
kemudian Ibu saya diberi kabar tentang kepergian anak itu.
Saya
mengenal penulis buku ini, Suryatini Gani dari tulisan Almarhum La Rose, penulis buku favorit Ibu saya.
Buku Minum Teh bersama Kartini ini
adalah buku pertama Ibu Suryatini yang terbit saat beliau berusia 78 tahun.
Hebat ya, sudah berusia lanjut namun terus berkarya.
Ibu
Suryatini Ganie adalah sosok yang menarik. Lahir pada tahun 1930, Ibu dua anak
ini menguasai 10 bahasa, 7 di antaranya bahasa asing. Selain terkenal sebagai
pakar kuliner, Ibu Suryatini menekuni profesi sebagai wartawati dan penulis.
Cerpen-cerpennya antara lain dimuat di harian Merdeka, majalah Keluarga, majalah
Dewi, dan majalah Selera. Waktu bermukim di Eropa dan sering mengadakan perjalanan
ke berbagai negara di belahan dunia, ia tidak lupa membuat cerpen tentang
kota-kota yang disinggahinya.
Membaca
tentang Ibu Suryatini Ganie ini membuat saya teringat oleh twit seseorang yang
di retweet oleh @BonnieTriyana
seorang sejarahwan, pemimpin redaksi majalah Historia. Tweet itu tentang kualitas pendidikan kita yang menurun
setelah tragedi tahun 1965. Banyak sekali guru berkualitas yang dipecat karena
dituduh terlibat PKI. Saat ini kita bisa menyaksikan kualitas pendidikan orang-orang
Indonesia sangat menurun, kalah jauh dari angkatan Bung Karno, Bung Hatta, atau
angkatan Ibu Suryatini Ganie, La Rose.
Satu
kejadian saling terkait dengan kejadian lain. Kemalangan guru-guru yang dicap
PKI padahal tidak tahu apa-apa, menyebabkan kemalangan orang-orang sebangsa
berupa kualitas pendidikan yang menurun. Padahal pendidikan yang baik membuat
satu bangsa bangkit, berbudaya tinggi dan sejahtra.
Mau
tidak mau kita harus peduli dengan lingkungan kita. Contohnya, kita tidak bisa
diam saja ketika ada ketidak-adilan di sekitar kita. Minimal kita harus
bersuara. Bila tidak, siapkan anak cucu untuk merasakan dampak dari
ketidak-pedulian kita. Saat inipun kita sebagai satu bangsa sudah merasakan
dampak dari ketidak-pedulian kolektif. Harga pangan naik, pendidikan dan
pelayanan kesehatan sangat mahal, dan penegakan hukum di negeri kita sangat memprihatinkan.
Untuk itu mari bersuara. Memperjuangkan keadilan untuk satu manusia sama dengan
memperjuangkan keadilan untuk satu masyarakat. Mari berkunjung ke FreeAnandKrishna.com.
Jangan sampai ketidak-adilan yang dialami oleh Bapak Anand Krishna menimpa kita
dan keturunan kita. Bapak Anand Krishna menjalani proses hukum hampir selama
dua tahun untuk satu tuduhan tanpa bukti dan tanpa saksi mata.
Semoga
Allah melindungi bangsa ini dari kezaliman yang amat sangat. Amiin.
Terimakasih,
Namaste _/l\_
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Translate
About Me
- Guruntala
- 🌹A dam mast qalandar. #BlessingsClinic 🌹Give some workshops: Meridian Face & Body Massage, Aromatherapy Massage with Essential Oils, Make up. 🌹Selling my blendid Face Serum. IG & twitter: @guruntala
0 komentar:
Posting Komentar