Jumat, 22 Juni 2012
Balas Dendam
02.03 |
Diposting oleh
Guruntala |
Edit Entri
Kemarin
21 Juni 2012 blogger Iman Brotoseno @imanbr
menulis klutwit tentang bagaimana Bung Karno diperlakukan dengan tidak
sepatutnya pada saat-saat menjelang akhir hidup beliau.
“Hari
ini 42 tahun lalu, Soekarno - Bapak bangsa – meninggal dunia dengan tragis.
Mati dalam status tahanan politik #MatinyaBK”
“Gegara
kultwit. Di taimlainku banyak yang memaki Soeharto anjing, babi sampai sumpah
serapah Capt Hadock”
Lalu ada yang mempertanyakan mengapa
Megawati saat berkuasa tidak memperkarakan Pak Harto. Iya juga ya, ada apa
dengan Mamak Banteng?.
Kata orang bijak, jangan memelihara
dendam. Namun tegakkan kebenaran tanpa dendam. Bagaimana agar tidak hidup
dengan dendam? Sulit kan untuk tidak membalas dendam pada orang yang telah
melakukan perbuatan keji pada “kita” ?
Trilogi Kaze yang bercerita tentang seorang samurai tak bertuan mencari putri
kaisar yang hilang ini, sarat dengan kebijakan
Zen. Trilogi Kaze adalah karya Dale
Furutani, diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Qanita. Salah
satu kebijakan Zen dalam buku ini adalah bagaimana cara menghadapi dendam.
Berikut kutipannya:
...Wajah Kaze memerah karena marah. “Kau
memang selalu hebat untuk melakukan kekejaman, “jawabnya. “Bukan hal yang biasa
dibanggakan kebanyakan orang.”
Okubo: “Malah sebaliknya. Aku suka
bersenang-senang. Paling tidak pada
hal-hal yang memberikanku kesenangan. Apa kau tahu kalau aku sudah meniduri
Tuan Putrimu dan anaknya? Aku laki-laki pertama yang sudah menikmati mereka,
selain suaminya. Meski aku membiarkan beberapa anak buahku bersenang-senang
dengannya setelah aku selesai. Aku juga yang merampas keperawanan anak
gadisnya. Kurasa usianya enam atau tujuh tahun saat itu. Kupukuli dia
habis-habisan setelah memberikan perlawanan. Aku tidak bisa bilang yang mana
yang lebih kunikmati, ibunya atau anaknya. Masing-masing dari mereka mempunyai
daya tarik sendiri.
Sambil menggeram, Kaze melancarkan
serangan pada Okubo. Pedangnya menyabet tanpa ampun pada Okubo...Tapi amarah
sudah mengacaukan pedangnya, membuat tangkisannya tampak kaku dan pelan.
Satu tangkisan terhadap sabetan Okubo
meninggalkan luka dalam di lengan bawahnya, menimbulkan rasa gatal di lengannya
dan membuat tangannya lemas. Karena beberapa sebab, keahliannya memainkan
pedang seperti lenyap begitu saja saat ia begitu membutuhkannya.
Sampai
kau bisa mengalahkan dirimu sendiri, kau tidak akan bisa mengalahkan orang
lain.
Kata-kata Sensei itu terngiang di kepala
Kaze. Memang benar pedang panjang Okubo memberinya jangkauan yang lebih. Tapi,
setelah mendengarkan suara hatinya, Kaze tahu alasan dirinya kalah bukan karena
masalah senjata. Kaze kalah karena dirinya tak memiliki karakter.
Ia menyerang Okubo dengan amarah dan
kebencian dihatinya. Dua perasaan yang akan menghancurkan orang yang
menyimpannya. Ia membiarkan amarah mengendalikan pedangnya. Ia membiarkan
kebencian mengendalikan kemampuannya
untuk bertarung. Akibatnya ia tak memakai ketrampilan yang diajarkan padanya. Ia bisa memakai ketrampilan itu sebagai
alat untuk melampiaskan rasa marah dan kebencian, atau memakainya sebagai alat
menegakkan keadilan.
Setelah apa yang dilakukan Okubo
terhadap Tuan Putrinya, anak Tuan Putrinya, Kaze, klan Kaze, klannya sendiri
dan korban-korban lainnya, Okubo berhak merasakan kejamnya tangan keadilan.
Okubo adalah iblis. Tak diragukan lagi, ia adalah iblis yang menyatu pada seorang
manusia yang pernah ditemui Kaze. Tapi, untuk
mengalahkannya, Kaze harus memakai rasa kebenarannya dan kemampuannya sebagai
seorang ahli pedang, bukan amarah dan kebencian sebagai salah satu korban
Okubo.
Ia mundur dua atau tiga langkah,
memandangi Okubo dengan seksama. Ia menurunkan pedangnya hingga berada di
posisi menghunus ke mata. Kaze mengambil
napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Ia berusaha untuk mengeluarkan
amarah dari dalam tubuhnya dan membiarkannya terbang bersama angin. “Akulah
pedang kebenaran. Akulah pedang keadilan, “ucap Kaze dengan suara lirih.
“Kau ini bicara apa, tolol?” tanya Okubo
yang tak menangkap kata-kata Kaze. “Akan kukatakan padamu sesuatu. Aku akan
mengadakan pesta kemenangan yang akan merayakan kemenangan akhir atas dirimu,
klanmu, Tuanmu, Tuan Putrimu, dan semua orang yang kubenci. Kepalamu, yang
dijadikan asinan, akan menjadi pajangan di tengah meja. Akan kuundang semua
samurai. Semuanya, bergiliran, kuminta untuk mengencingi wajahmu, untuk
memperlihatkan betapa kebencianku padamu.”
Tapi, tak seperti halnya Okubo, Kaze
merasa tak perlu untuk memprovokasi atau mencela. Malahan, ia mencoba melakukan
hal yang sebaliknya, untuk menarik
perasaannya dari duel ini, mengeluarkan amarah dan mencapai kondisi kosong,
untuk menundukkan dirinya sendiri sebelum ia mencoba mengalahkan orang lain. Ia
sadar, semakin menginginkan Okubo mati, semakin kecil kemungkinan ia bisa
mencapai tujuannya. Semakin ia berusaha mengendalikan pertandingan ini,
semakin ia kehilangan kendali atas dirinya.
Okubo maju untuk menyerang lagi...ketika
Kaze tidak mundur, Okubo bergerak mundur. Di wajahnya tersirat ekspresi
kekhawatiran. Ia terheran-heran perubahan apa yang tiba-tiba terjadi sehingga
teknik dan taktik yang ia pakai dengan sukses beberapa saat yang lalu kini bisa
dinetralkan.
“Akulah pedang kebenaran. Akulah pedang
keadilan, “ucap Kaze pada dirinya sendiri. Terus dan terus ia mengucapkan itu
bagaikan mantra. Pedang kebenaran dan pedang keadilan.
Saat Kaze sudah aman berada di dalam
jangkauan pedang Okubo, pedang panjang
itu berubah dari aset menjadi kelemahan. Meskipun pedang itu memiliki
jangkauan yang lebih panjang, benda itu tidak secepat katana biasa. Tanpa berpikir, tanpa merencanakan serangan,
pedang Kaze bergerak horizontal dan melintang, menyobek perut Okubo.
Kaze meninggalkan tempat itu, membiarkan
musuhnya mati perlahan dan mengenaskan. Ketika ia mendekati Ieyasu, sang Shogun
tahu kalau duel itu telah berakhir.
Ieyasu memandang sang ronin. Matsuyama Kaze
kelelahan setelah bertarung melawan Okubo. Tapi, ia tetap memperlihatkan
kerendahan hati, pengendalian diri, dan tidak menampakkan kegembiraan yang
meluap-luap setelah kemenangannya atas musuhnya ini. Ieyasu adalah seorang penyabar. Ia tak akan mendapatkan gelar Shogun
jika bukan penyabar. Ia menyimpan wajah dan nama baru orang ini, Matsuyama
Kaze, karena merasa kalau ia tetap bersabar, bukan tidak mungkin di masa yang
akan datang, ahli pedang yang piawai ini akan menjadi pengikutnya.
Menarik
kan? Tidak mendendam namun menegakkan keadilan...
Terimakasih
Namaste
_/l\_
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Translate
About Me
- Guruntala
- 🌹A dam mast qalandar. #BlessingsClinic 🌹Give some workshops: Meridian Face & Body Massage, Aromatherapy Massage with Essential Oils, Make up. 🌹Selling my blendid Face Serum. IG & twitter: @guruntala
0 komentar:
Posting Komentar