Senin, 07 Oktober 2013
Belajar dari Soe Tjen Marching
18.23 |
Diposting oleh
Guruntala |
Edit Entri
Buku “Kubunuh Di Sini” merupakan
catatan perjalanan hidup Soe Tjen Marching, pengajar di universitas terkemuka
di Australia dan Inggris dalam bertarung dengan penyelinap ganas di tubuhnya.
Penggiat kelompok pluralisme, Lembaga Bhinneka, ini juga menuliskan tentang
kehidupan di negara dimana beliau tinggal.
Terimakasih untuk Soe Tjen
Marching yang telah menulis untuk membagikan pengalamannya. Dalam perjuangannya
menghadapi kanker, Soe Tjen dengan pengamatannya yg tajam membahas tentang layanan
kesehatan di tiga negara yaitu Indonesia, Australia, dan Inggris.
Soe Tjen juga bercerita tentang
pengalamannya tinggal di Indonesia, Selandia Baru, Australia, Inggris dan Jerman.
Buku ini juga membahas tentang perampokan manusia, tentang imigrasi, tentang
ketakutan manusia, tentang hubungan permainan politik dan kanker, tentang
penindasan dan hilangnya kemanusiaan.
London, 14 Februari 2011
Lampu jalan mulai dipadamkan tapi malam belum usai. rasa sakit
mengaburkan pandanganku. Ditambah dengan kabut, hampir semua tampak seperti
bayang-bayang tanpa ujud pasti. Terkadang sosok-sosok itu melebur menjadi satu.
Pesawatku mendarat di London pada hari Valentin, awal musim semi. Awal berita kematianku.
Tak lama mendarat, aku dijebloskan kerumah sakit karena kepedihan yang
luar biasa. Angus menjelma dari seorang suami menjadi induk yang merawat anak satu-satunya:
aku. Yang sudah begitu lemah, yang sudah sukar berdiri ataupun bergerak, yang
menjadi bayi lagi. Bayi raksasa yang cukup berat, dan selalu mengejang kesakitan.
Bayi yang lebih menyusahkan.
Hari itu, aku terbaring di Royal Marsden Hospital, rumah sakit khusus
penderita kanker.
Dokter Zafir, yang selalu tersenyum, menyodorkan menu penutup malam
ini: kematian. (halaman vii).
Berapa kali kamu harus bangkit dari kubur? Setelah mereka membasmimu
dengan cara yang brutal?
Kamu hidup lagi. Untuk yang keempat kali. Dan pada setiap kebangkitan,
kekuatanmu bertambah. Setelah tiga kali bersembunyi dalam rongga leherku,
sekarang kamu memutuskan untuk berpindah usaha yang luar biasa, dan fatal
bagiku. Mereka yang berdiri di sisi tempat tidur, yang bertugas membasmimu,
kini menyerah. Tidak ada jalan lain untuk memusnahkanmu.
Hidupku hanya bisa dipertahankan. Dengan segala cara yang paling
agresif sekalipun, mereka hanya akan memperlambat penjarahanmu di dalam
rongga-rongga tubuhku, dalam kerangka tulang belakang. Kemudian, kamu akan
tetap menyebar, melahap sel-sel di seputar perut dan dadaku, sampai akhirnya
merenggut semua sel itu sehingga kerja organ-organku terhenti dan persediaan
oksigen ke otak lenyap. Saat itulah manusia dinyatakan mati.
Apa yang dirasakan seseorang
mendengar kabar kematiannya? Antara ketidakpercayaan, penerimaan, keterkejutan,
dan kesedihan? (halaman ix)
Dalam buku ini, antara lain, Soe
Tjen bercerita tentang layanan kesehatan di Indonesia, Australia, dan Inggris.
Di negeri ini (Indonesia-noted)
semua harus dengan duit. Orang sakit yang tidak berduit dijamin cepat koit!
Begitulah negara yang katanya beradab yang menjunjung agama dan moralitas.
(halaman 2)
Hmm, benar juga ya. Kemana uang
pajak yang seharusnya menjadi uang pelayanan untuk kesehatan, pendidikan, dan
kesejahteraan masyarakat ya?
Masalahnya, aku sering tidak percaya dengan sistem kesehatan di
Indonesia. Dokter yang melakukan kesalahan seringkali lolos. Dulu, aku pernah
hampir mati hanya karena operasi gigi bungsu. Lampu tiba-tiba padam ketika aku tengah
dioperasi dan mesin dieselnya rusak.
Masih banyak kisah seram dari operasi disini akibat fasilitas atau pun
tenaga yang kacau. (halaman 3)
Soe Tjen bercerita juga tentang
pengalamannya untuk menjadi warga negara Australia, negara suaminya, Angus.
Beginilah cara negeri (Australia-noted) ini memilih penduduknya. Mirip dengan menyortir ternak di pasar.
Binatang mana yang bisa menghasilkan paling banyak, yang paling menguntungkan
si petani yang tamak?
Kalau ternak ini terbeli dan ternyata sakit, apa boleh buat, negeri ini
akan merawatmu, karena makhluk yang sakit sukar sekali menghasilkan apa-apa. Jadi
mereka harus sembuh. Tapi kalau ternak ini ketahuan mempunyai cacat atau sakit
sebelum terbeli, negeri ini akan menolakmu, karena ternak seperti ini sudah
afkiran. Tidak lagi bisa dihargai. (halaman 54)
Pemerintah Inggris memutuskan untuk membuat koloni baru di tanah ini
dengan memperlakukan Aborigin seperti binatang buruan –mereka disekap,
dipekerjakan, dan diperlakukan dengan keji. Mereka juga diracun dengan arsenik,
bahkan tidak jarang diburu seperti kangguru, untuk taruhan atau sekedar iseng,
sehigga populasi mereka menurun drastis. Tambang-tambang emas yang ditemukan
seringkali meningkatkan kerakusan.
Kekejaman yang luar biasa seringkali menimbulkan ketakutan, paranoia
bahwa yang lain akan berbuat serupa terhadap mereka. Pada tahun yang sama, para
migran yang sudah “menggagahi” tanah baru ini membatasi migrasi ke tempat itu:
migran yang membatasi migran—maling yang ketakutan akan dimalingi. (halaman
63).
Angus dan Soe Tjen pindah ke
Britania karena hukum imigrasi di Britania jauh lebih manusiawi daripada di
Australia. Tidak ada diskriminasi bagi yang sakit.
Soe Tjen menjadi pengajar di University of London yang bergengsi itu...
“Sungguh, menjadi pembicara di SOAS (University of London-noted) tidak semewah dan sesulit yang mereka kira.
(halaman 134)
Dunia akademik seringkali penuh dengan intrik, bahkan kekejaman. (halaman
135)
Indonesia, Januari 2010
Sekarang aku pulang. Ke Indonesia. Tapi apakah hidupku hanya untuk ini?
Bertahan dan bertahan selama mungkin. Dan kemudian, aku habis –tak bersisa
lagi?
Karena ini, aku begitu bersemangat dan bahkan memaksa tubuhku untuk
terus bekerja, dengan kondisi yang sudah hampir sekarat. Karena aku merasa
hidupku tidak akan lama. Terkadang inilah yang membuatku selalu terburu. Seolah
mencari apa yang harus kulakukan sebelum aku tidak bisa apa-apa lagi.
Aku sudah menjelma menjadi tukang sapu yang hanya punya waktu lima
menit untuk membersihkan seantero rumah megah. (halaman 144).
Soe Tjen ikut serta mendirikan
Masyarakat Bebas-Bising, yang diprakarsai oleh Slamet A. Sjukur.
Masyarakat Bebas-Bising adalah bentuk kepedulian terhadap masyarakat
akan adanya polusi kebisingan, terutama di kota-kota besar. Kita mengupayakan
supaya masyarakat lebih sadar dan pemerintah lebih sigap atas masalah ini. (halaman
147)
Menarik pembahasan Soe Tjen
tentang ketakutan yang merupakan musuh besar manusia. Peresmian Lembaga
Bhinneka sempat dibatalkan karena ketakutan terhadap organisasi massa sudah
terlanjur menyebar.
Berapa lamanya para calon
proklamator Indonesia harus mengadakan pertemuan rahasia, dalam ruang tamu
kecil, tidak saja untuk melindungi diri dari penjajah namun juga dari rakyat
yang ketakutan, dan yang siap mengkhianati mereka? Bahkan ketakutan ini menjadi musuh yang lebih besar daripada sang
penjajah. Sang penjajah sendiri tidak usah berbuat apa-apa, rakyatlah yang
bergerak untuk membungkam kebebasan berpendapat satu sama lain. Merekalah yang
menjadi agen-agen yang menggagalkan perjuangan melawan sumber teror yang
sesungguhnya. (halaman 159)
Kegagalan perjuangan melawan kekerasan seringkali disebabkan bukan oleh
penguasa atau peneror itu sendiri, tapi oleh karena masyarakat atau rakyat yang
ketakutan. Rakyat yang tidak bersedia melawan penjajah karena ketakutan itu,
dan siap untuk menghambat perjuangan bahkan mengkhianati mereka. Rakyat yang
kemudian turut menikmati kemerdekaan.(halaman 159)
Buku ini perlu dibaca dan
direnungkan. Satu hal yang kurang menurut saya adalah, buku ini tidak memuat
foto Soe Tjen. Minimal foto diri saat mengajar atau foto pernikahan. Rupanya
foto diri dan keluarga tidak untuk dipublikasikan.
TerimaKasih... Namaste _/l\_
DATA BUKU :
Judul : Kubunuh Di Sini
Penulis: Soe Tjen Marching
Tebal : ix + 250 halaman
Penerbit : Kepustakaan Populer
Gramedia, 2013
Label:
BUKU,
Review Buku
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Translate
About Me
- Guruntala
- 🌹A dam mast qalandar. #BlessingsClinic 🌹Give some workshops: Meridian Face & Body Massage, Aromatherapy Massage with Essential Oils, Make up. 🌹Selling my blendid Face Serum. IG & twitter: @guruntala
0 komentar:
Posting Komentar