Rabu, 11 April 2012
Finding Rumi
21.16 |
Diposting oleh
Guruntala |
Edit Entri
Membaca buku Finding Rumi karya Najmar
adalah mengikuti perjalanan spiritual Najmar yang sedang napak tilas perjalanan
spiritual Sufi Besar Rumi di negeri
asal Rumi, Turki.
Menarik pertemuan Najmar dengan Master
(Syaikh) Tarekat Rifai pada halaman 241. Berikut kutipan percakapan Najmar
dengan Master:
Master: “Ah, aku jadi tahu Indonesia itu seperti apa. Dari kamu saja aku sudah bisa melihat, seperti apa negerimu itu.”Ketika negeriku disebut sontak aku tak terima.Najmar: “Wah, Anda tidak bisa menilai negeri saya hanya lewat saya dong. Di Indonesia banyak orang-orang pintar. Yang ada di hadapan Anda sekarang hanyalah orang Indonesia yang bodoh dan nakal. Cobalah datang sendiri ke Indonesia dan rasakanlah sendiri Indonesia.”“Ah! Itulah mengapa kamu Jabal Ibrahim dan Jabal Toriq, “kata Master mengingatkan pada mimpi yang kuceritakan padanya minggu lalu, “karena kamu tidak punya Syaikh.” Ia kemudian menjelaskan.“Orang tidak pernah tahu level nafs- nya sendiri, karena kalau ia tahu ia akan merasa sombong dan merendahkan orang lain, dan itu berbahaya karena bisa menurunkan levelnya. Hanya Syaikh pembimbing yang bisa mengetahui tingkat nafs murid-muridnya dan membantunya agar mampu mencapai level berikutnya, “jelas Master.“Kalau kamu bilang gurumu banyak, bagaimana bisa? Karena setiap guru akan berbicara tentang kebenaran sesuai dengan level nafs-nya masing-masing. Apa kamu tidak akan bingung? Dan jika kamu berguru pada orang yang levelnya rendah dari kamu, haram hukumnya. Kamu mengerti itu?”Aku diam, menunggu apa lagi yang akan ia katakan.
“Pada level tertinggi sudah tak ada lagi agama, bagaimana menurutmu?” Aku tak menjawab. Ia menekankan lagi pernyataannya, “TAK ADA LAGI AGAMA!!” katanya sambil menatapku tajam.Aku tertawa melihat wajahnya. “Iya, kalau tak ada lagi agama, lalu apa masalahnya?” jawabku enteng.Master terlihat agak kaget sebelum akhirnya berkomentar, “Hah! Kamu tertawa karena kamu melihatku apa adanya.”Sebenarnya aku tertawa karena pernyataan itu tak lagi mengusikku. Sehingga aku tak kaget dan bingung mendengarnya. Ketika dualitas terlampaui maka semua sekat menjadi luntur termasuk sekat agama, sehingga yang terlihat kemudian hanyalah keesaan Tuhan. Inilah yang kupahami dari puisi Maulana:Apa yang mesti kulakukan, O Muslim? Aku takmengenal diriku sendiri.Aku bukan Kristen, bukan Yahudi, bukan Gabar,bukan Muslim.Aku bukan dari Timur, bukan dari Barat, bukandari darat, bukan dari laut;Aku bukan dari alam, bukan dari langit berputar.Aku bukan dari tanah, bukan dari air, bukan dariudara, bukan dari api;Aku bukan dari cahaya, bukan dari debu, bukanwujud dan bukan hal.Aku bukan dari India, bukan dari Cina, bukan dariBulgaria, bukan dari Saqsin;Aku bukan dari kerajaan Irak, bukan dari negeriKorazan.Aku bukan dari dunia ini, atau dari akhirat, bukandari surga atau neraka;Aku bukan dari Adam, bukan dari Hawa, bukandari Firdaus, bukan dari Rizwan.Tempatku adalah Tanpa-Tempat, jejakku adalahtak berjejak;Ini bukan raga dan bukan jiwa, sebab aku milik jiwakekasih.Telah kubuang anggapan ganda, kulihat dua duniaini esa;Esa yang kucari, Esa yang kutahu, Esa yang kulihat,Esa yang kupanggil.Ia yang pertama, Ia yang terakhir, Ia yang lahir, IaYang batin;Tak ada yang kuketahui kecuali “Ya Hu” dan “Yaman Hu”.Aku mabuk oleh piala Cinta, dua dunia lewat tanpakutahu;Aku tak berbuat apa pun kecuali mabuk gila-gilaan.Kalau sekali saja aku semenit tanpa kau,Saat itu aku pasti menyesali hidupku.Jika sekali di dunia ini aku pernah sejenakdenganmu,Aku akan menyembah dua dunia, aku akan menarijaya sepanjang masa.O Syamsi Tabriz, aku begitu mabuk di dunia ini,Tak ada yang bisa kukisahkan lagi, kecuali tentang
mabuk dan gila-gilaan.
Menarik ya pendapat dari Master (Syaikh)
dari Tarekat Rifai. Seseorang bisa berguru pada banyak Master, namun pada satu
masa seseorang hanya berguru pada seorang Master. Setelah “puas” menimba ilmu
pada seorang Master, baru lah dia mencari seorang Master lagi. Seseorang tak
bisa memiliki dua Master pada saat yang sama.
Dan pendapat Master Tarekat Rifai yang
menohok adalah haram hukumnya berguru pada seseorang yang levelnya lebih rendah
daripada kita. Maksud Master Tarekat Rifai ini tentunya level keilmuan atau
level awareness.
Mengapa ya? Mungkin bila kita berguru
pada seseorang yang lebih rendah daripada kita, kita akan menjadi bosan, malas
belajar, malas berusaha. Padahal ilmu, awareness itu tak terbayangkan keluasan,
ketinggian dan kedalamannya. Ada satu pepatah “beradalah dalam satu lingkungan
yang lebih tinggi darimu sehingga engkau akan terangkat.”
Sangat membosankan bila kita belajar lagi
membaca seperti anak SD padahal sudah saatnya kita belajar menulis pada seorang
pakar #halaaah. Misalnya kita ingin menulis novel yang bagus belajarlah pada
penulis-penulis novel top seperti Ayu Utami, Alberthiene Endah, Amy Tan, Pearl
S. Buck, Khaled Khosseini dll. Salah besar bila kita belajar pada seseorang
yang level menulisnya di bawah kita. Usaha belajar kita menjadi haram karena
membuat kita malas belajar, belajar berusaha, membuat kita sempit, padahal ilmu
dan wawasan seluas langit sedalam lautan.
Thanks
for writing Najmar.
Namaste
Beloved Friends _/l\_
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Translate
About Me
- Guruntala
- 🌹A dam mast qalandar. #BlessingsClinic 🌹Give some workshops: Meridian Face & Body Massage, Aromatherapy Massage with Essential Oils, Make up. 🌹Selling my blendid Face Serum. IG & twitter: @guruntala
0 komentar:
Posting Komentar