Sabtu, 27 April 2013
Biaya Riset Menulis: dari "Antologi Rasa" hingga "Hermes Temptation"
19.59 |
Diposting oleh
Guruntala |
Edit Entri
Masih dalam rangka memperingati Hari Buku dan Hari Hak Cipta sedunia, saya akan membahas biaya riset seorang penulis. Memang modal utama seorang penulis
adalah kepekaan dia terhadap kejadian di sekeliling, kepekaan dalam menangkap emosi
seseorang, tekad yang kuat untuk merangkai kata menuangkan ide, pemikiran menjadi
sebuah cerita. Namun tetap ada biaya riset!
Saya membaca dari salah satu buku
Pak Anand Krishna, bahwa untuk
menulis satu buku, minimal seseorang telah membaca 20 buah buku. Membaca,
terinspirasi, menjadikan referensi tidak berarti copas karya orang lain. Perhatikan deh buku hasil copas,
aliran cerita semacam dipaksakan.
Sebagai orang lebay saya berpendapat
bahwa buku yang ditulis sepenuh hati itu menjadikan sebuah buku bernyawa. Buku
hasil copas bagaikan buku zombie qiqiqi.
Seseorang bisa saja menulis cerita
dengan latar belakang satu tempat misalkan Swiss padahal belum pernah
berkunjung ke Swiss. Penulis bisa riset dengan banyak membaca dan googling tentang Swiss, melihat foto
tentang Swiss, membaca tentang budaya Swiss, tempat hang out yang hips di Swiss dll. Penulis kudu mengeluarkan biaya untuk koneksi internet dan untuk beli buku
atau majalah kan. Riset perlu biaya booo!
Bagaimana seorang Agustinus Wibowo menulis buku-buku “Garis Batas”, “Selimut Debu” atau “Titik
Nol” ? Dengan berkelana ke tempat-tempat menantang yang diceritakannya.
Menulis buku-buku tersebut membutuhkan waktu, tenaga, pikiran, keberanian
bertualang dan yang pasti duit binti hepeng. Memangnya bisa beli tiket dan
membayar akomodasi dengan senyum saja?
Saya membaca tweet penulis Ika Natassa @ikanatassa yang menulis cerita tentang proses riset pembuatan
buku. Penulis novel laris “A Very Yuppy
Wedding”, “Antologi Rasa”, “Divortiare”, “Twivortiare” ini menulis bahwa komisi dari penjualan novel dia
dipergunakan untuk biaya riset. Ika Natassa hidup mapan sebagai Bankir
berprestasi. Toh Ika perlu juga duit komisi penjualan buku untuk riset buku
berikutnya. Bankir yang menulis untuk fun
tetap perlu duit komisi apalagi penulis yang hidup sepenuhnya dari hasil
penjualan buku.
Ika menulis di twitter bahwa
riset pembuatan novelnya “Antologi Rasa”
memakan biaya yang besar. Antara lain riset beli tiket untuk melihat langsung
balap F1 di Marina Bay Circuit Singapore. Harga tiket nonton sama dengan harga sebuah sepeda motor, belum
tiket pesawat Jakarta-Singapore pp, biaya hotel, biaya makan di sana.
Ika juga terbang ke Bangkok untuk
menonton langsung konser John Mayer.
Yak bisa diperkirakan biaya tiket nonton konser, biaya tiket pesawat
Jakarta-Bangkok pp plus akomodasi...
Menurut Ika, bisa saja menulis
berdasarkan hasil baca dan googling.
Namun Ika memilih untuk mengalami langsung agar merasakan bagaimana rambut
berkibar diterpa angin saat menonton balap F 1 yang legendaris itu. Dengan
mengalami sendiri satu peristiwa, cerita yang ditulis bisa lebih bernyawa.
Jelas sekali bila kita membeli
buku bajakan maka penulis tidak mendapatkan uang komisi. Otomatis tidak ada
biaya riset yang membuat penulis patah arang tidak mau menulis lagi. Yang rugi
adalah kita para pembaca karena tidak mendapat hiburan/pengetahuan/kebijakan
dari sebuah buku yang menarik.
Saya baca buku terbaru Miss Jinjing Amelia Masniari “Belanja Sampai Mati di Turkey” bahwa
Miss Jinjing perlu berkali-kali datang ke Turkey dalam rangka menulis bukunya.
Miss Jinjing –MJ- harus merasakan menginap di beberapa hotel terbaik, mencoba
tempat2 hang out yang lagi hips (happening), mendatangi tempat-tempat belanja yang hips disana, dan pastinya menjinjing
belanjaan.
Saat menulis “Belanja Sampai Mati
di China”, MJ perlu beberapa kali ke China, menyusuri tempat-tempat belanja
yang terkenal atau yang unik. Hitung saja tiket pp Jakarta-China, ongkos
menginap di hotel, ongkos high tea di cafe atau hotel bintang lima, ongkos lunch atau dinner di restoran hips tempat Tai-Tai
(Nyonya-nyonya Besar) hang out. Dan
pastinya ongkos belanja selama disana. Tak mungkin lah MJ datang ke tempat
belanja yang oke kemudian pulang
tanpa menjinjing.
Demikian pula saat pembuatan
buku-buku yang lain, “Miss Jinjing Belanja Sampai Mati di Paris”, “Miss Jinjing
Belanja Sampai Mati di Korea”, “Miss Jinjing Belanja Sampai Mati di Dubai”,
“Miss Jinjing Belanja Sampai Mati di Jepang”. Semuanya perlu biaya riset yang
besar. Coba renungkan wahai pembajak dan pembeli buku bajakan.
Coba baca deh buku ‘Hermes Temptation” yang ditulis Fitria Yusuf dan Alexandra Dewi. Dewi berkali-kali terbang ke Paris untuk belanja di butik eksklusif Hermes. Tiket pesawat bussiness class Jakarta-Paris pp, beli
tas-tas Hermes, hotel dan akomodasi selama di Paris pastinya besar biayanya.
Syukurlah kita tidak perlu mengeluarkan duit segitu banyaknya untuk mengetahui
lika-liku pembelanja Hermes. Cukup menukarkan duit 125 ribu di toko buku, kita
mendapatkan pengalaman itu hihihi. Terimakasih kepada para penulis.
Mari membeli buku asli. Buku
bajakan? Tidaaakkk!!!
TerimaKasih... Namaste _/l\_
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Translate
Blog Archive
-
▼
2013
(108)
-
▼
April
(11)
- Berkah Lupa: dari novel "The Opposite of Fate"
- Biaya Riset Menulis: dari "Antologi Rasa" hingga "...
- Perang Melawan Pembajak !!!
- KOCOK: Cerita tentang Arisan Ibu-ibu Sosialita
- Peringatan ARB kepada Anas Urbaningrum
- Membaca Ekspresi Adi Bing Slamet & Arya Wiguna: Ka...
- Bangsa Pendendam yang Mudah di Adu Domba
- Silencing The Buddha: from Cloud Atlas the Movie
- Be Aware: from"How to Hack the Human Brain"
- Afirmasi pada Neo Kundalini Yoga
- Be Fearless: from The Croods The Movie
-
▼
April
(11)
About Me
- Guruntala
- 🌹A dam mast qalandar. #BlessingsClinic 🌹Give some workshops: Meridian Face & Body Massage, Aromatherapy Massage with Essential Oils, Make up. 🌹Selling my blendid Face Serum. IG & twitter: @guruntala
0 komentar:
Posting Komentar