Jumat, 03 Mei 2013
Potret Pendidikan Kita: Belajar dari Ario Bayu
10.08 |
Diposting oleh
Guruntala |
Edit Entri
Wawancara Reader Digest Mei 2013 dengan Ario
Bayu menarik untuk direnungkan. Ario Bayu pada usia 28 tahun sudah menjadi
aktor yang diperhitungkan. Pemeran utama pada film Catatan (Harian) si Boy
ini menarik perhatian lantaran debutnya dalam film Hollywood, Java Heat.
Ario Bayu tinggal dan bersekolah
selama 10 tahun di New Zealand. Kita bisa melihat contoh seseorang yang dibesarkan
dengan sistem pendidikan New Zealand dangan seseorang yang dibesarkan dengan
sistem pendidikan di Indonesia.
Berikut beberapa kutipan
wawancara RDI dengan Ario Bayu :
RDI: Indonesia mengejutkan anda?
AB: Saya shock ketika ke
Indonesia, danmesti menghabiskan empat tahun untuk merekonfigurasi psikologi
saya, supaya menjadi sama. Waktu itu saya berpikir, gila, gue nggak bisa mengerti
kenapa orang-orang di sini masih sangat berorientasi kepada uang. Ya,
negara kita memang diselimuti dengan sistem ekonomi yang sedemikian rupa. Ini
membuat karakter seseorang dinilai dari uang. Dan kalau menurut saya, itu
sangat tidak asyik. Penyakit banget.
RDI: Apa orientasi hidup
orang-orang di sana?
AB: Lebih kepada hidup itu
sendiri. Di sana orang-orang lebih santai daripada di sini.
RDI: Anda berhenti kuliah bisnis
di Hamilton dan kembali ke Indonesia. Apa yang tidak menarik?
AB: Mungkin karena ruang
pemikiran saya tidak cocok dengan itu. Saya suka seni. Namun ketika bicara
seni, definisinya, kan bisa panjang. Ada seni berbisnis, seni membaca, seni
menulis, semua ada “the art of it”-nya.
Saya lebih cocok di seni pertunjukan.
Dan memang, sejak umur 16 saya sudah mengambil kelas drama, juga musik,
fotografi dan melukis. Jadi secara tidak langsung, dari sekolah juga yang
membuat saya tahu ketika besar ingin jadi apa. Sementara, di sini, kan, sangat
akademis. Yang terpenting adalah kita punya S1, S2, S3. Yang penting “jadi
orang”. Padahal sebenarnya itu hanya untuk membuka pintu ke dunia industri.
Lalu, kalau disini, umumnya sukses diartikan dengan punya uang banyak dan mobil
merek tertentu. Di sana tidak seperti itu. Pencapaian materialistisnya tidak
seakut itu.
RDI: Jadi tidak ada masalah
ketika Anda memutuskan terjun ke seni?
AB: Tidak ada masalah. Mereka support banget. Tanpa mereka, saya tidak
bisa seperti ini. Kalau menurut saya, bukan soal masalah atau tidak. Tetapi
soal apa yang Anda suka saja. Kalau Anda tidak suka pekerjaan Anda, untuk apa
Anda di situ? Anda akan masuk ke siklus dan menjadi bosan, lalu akhirnya tidak
akan jadi apa-apa. Ketika saya masuk ke dunia yang saya suka, saya akan terus
berkembang. Mata saya akan terbuka terus.
RDI: Apa sebetulnya rencana yang
sudah Anda buat ketika memutuskan kembali ke Indonesia?
AB: saya tidak punya plan, lebih
ke lihat nanti ke depannya bagaimana. Tembak dahulu. Kena target atau tidak,
lihat nanti. Tetapi, untuk soal uang, saya pernah melamar ke Mc Donald dan
sebuah klub untuk kerja di bar. Ternyata, wah, gajinya kecil banget. Bagaimana
saya bisa menyicil motor? Di New Zealand berbeda. Ketika saya bekerja di
restoran, saya bisa beli gitar dan berbagai kebutuhan anak-anak umur segitu.
Bagus ya sistem pendidikan di New
Zealand. Sejak umur 16 tahun Ario Bayu sudah tahu dia mau jadi apa.
Ario Bayu berhenti kuliah bisnis
dan mulai ikut casting untuk mendapat peran di film. Dan orang tuanya
mendukung. Bandingkan dengan orang tua di Indonesia yang rata-rata mengharuskan
anaknya menjadi S1 bila mereka mampu menyekolahkan.
Mana ada anak sekolah SMU – High
School- di New Zealand tawuran? Mereka antusias belajar. Mereka juga sejak
kecil sudah magang bekerja. Mana sempat tawuran?
Negeri kita ini penduduknya sudah
kebanyakan. Saat ini program KB jebol karena ada pihak yang tidak setuju
program KB dengan alasan agama, sesuai pemahaman yang bersangkutan. Jadinya
negeri ini kebanyakan tenaga kerja sehingga kurang mendukung untuk anak sekolah
yang mau magang. Yang sudah lulus atau tidak sekolah saja banyak yang
menganggur.
Memprihatinkan sekali pendidikan
di negeri ini. Ujian nasional tetap diadakan. Padahal banyak siswa yang susah
karenanya. Perhatikan fenomena kesurupan menjelang UN. Adakah pihak yang
membuat penelitian, berapa banyak siswa yang depresi atau bunuh diri karena tidak
lulus UN? Belajar kok bikin siswa stress?
Bukannya belajar yang baik adalah belajar dengan riang gembira penuh semangat?
Masyarakat yang matre adalah input pendidikan kita
selama ini. Karena matre maka tidak segan untuk korupsi. Ancaman masuk neraka
karena korupsi terbukti tidak berpengaruh kan. Karena otak dengan liciknya
mencari pembenaran dengan mencuci dosa.
Pendidikan yang bagus akan mengubah
wajah bangsa ini. Antara lain dengan menghormati para guru yang bijak. Dan saat
ini saya prihatin dengan perilaku oknum-oknum penegak hukum kita kepada kepada
guru spiritual Anand Krishna.
Orang yang jahat dan suka
menfitnah selalu ada selama dunia berputar. Menjadi bencana ketika orang-orang
baik diam saja.
Bagaimana mungkin sekian banyak
orang media membiarkan fitnah terus menerus digaungkan di tv-tv dan media
lainnya? Ada seorang wanita mengaku dilecehkan namun melapor ke TV One dulu
baru lapor ke polisi. Seorang guru spiritual dilempar tai sedemikian rupa
sementara pihak yang melihat kejanggalan ini banyak yang diam saja. Padahal Tara
Pradipta Laksmi menurut visum masih virgin, tak punya bukti dan saksi mata.
Bila anak gadis anda dilecehkan,
siapa yang sibuk? Anda atau orang lain yang bukan kerabat atau sahabat
keluarga? Mengapa dalam kasus Tara, yang sibuk mengurus adalah pihak lain atau
mafia kasus? Mafia kasus ini yang mengumpulkan saksi-saksi palsu, memberi uang
ke saksi, membayar pendemo termasuk FPI, mencarikan pengacara dst.
Srikandi Hukum yang terkenal
bersih, Hakim Albertina Ho sudah memberikan vonis bebas kepada Bapak Anand Krishna.
Namun JPU Martha tetap mengajukan kasasi pada MA, padahal tidak ada kasasi
untuk keputusan bebas di negara-negara beradab. Kasasi JPU Martha yang berisi
copas kasus orang lain disambut oleh Hakim MA. Hakim MA yang menvonis Anand Krishna,
Yamanie telah mundur dari jabatan Hakim Agung karena terbukti curang mengubah
vonis untuk terdakwa narkoba. Sementara Hakim MA lainnya yang menvonis Anand
Krishna 2.5 tahun, Zaharuddin Utama juga telah mundur dari jabatan Hakim Agung
karena terindikasi suap.
Tengoklah...mana ada bangsa yang
kurang ajar pada guru lalu bisa berjaya?
Terimakasih... Namaste _/l\_
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Translate
Blog Archive
-
▼
2013
(108)
-
▼
Mei
(12)
- Melawan Matre: dari buku "Alpha & Omega Spirituali...
- Obsesi dan Hasut : Belajar dari film The Great Gatsby
- E Malik Tere Bandhe Hum
- Mencapai Kepuasan: dari novel "Cewek Matre"
- Belajar Berkomitmen : dari film "Cinta Brontosaurus"
- Peluncuran Buku "Alpha & Omega Spiritualitas"
- Bila Fitnah Merajalela
- Ziarah ke Tanah Suci
- Kenangan Kampung Halaman
- Biaya Riset Menulis Nol Rupiah ?? dari "Laskar Pel...
- Potret Pendidikan Kita: Belajar dari Ario Bayu
- Kutukan Memori: dari buku "Sybil" Kisah Nyata Seor...
-
▼
Mei
(12)
About Me
- Guruntala
- 🌹A dam mast qalandar. #BlessingsClinic 🌹Give some workshops: Meridian Face & Body Massage, Aromatherapy Massage with Essential Oils, Make up. 🌹Selling my blendid Face Serum. IG & twitter: @guruntala
0 komentar:
Posting Komentar