Selasa, 06 Desember 2011
Teh Nia Dinata
08.30 |
Diposting oleh
Guruntala |
Edit Entri
Nia
Dinata adalah salah satu sutradara film Indonesia yang fenomenal. Film-film
besutannya sangat menarik. Saya suka film-film Teh Nia antara lain, Cabaukan, Arisan! dan Berbagi Suami.
Yang
menarik adalah Nia Dinata menulis sendiri skenario film yang dibuatnya. Saya
termasuk orang yang percaya bahwa we are
what we read, what we listen, what we write. Dalam hal film begitu juga.
Film terbaru Nia Dinata menjelaskan pandangan Nia tentang kehidupan. Film Arisan!2 menggambarkan kehidupan
sosialita Jakarta, yang takut tua, yang jadi pelanggan dokter kulit untuk
melawan kerut dan tanda-tanda penuaan. Juga fenomena para LGBT -Lesbian, Gay, Biseks dan Trangender-, yang ada di sekitar kita,
yang perlu kita terima tanpa penghakiman. Film Arisan!2 juga bercerita
tentang Meimei yang menderita kanker stadium akhir, bagaimana Meimei menghadapi
vonis tersebut sambil menikmati hidup di pantai Gili Trawangan Lombok yang sangat
memikat, bagaimana Meimei bersama dr Tom, terapis alternatif healing Meimei di Lombok, menghadiri upacara Waisak . Saya
tak puas hanya sekali menonton. Pemandangan Borobudur malam hari yang dihiasi
lampion sangat memukau, indah dan syahdu. Keuntungan berulang-kali nonton film
ini adalah kita bisa menikmati pemandangan bawah laut pantai Gili Trawangan
tanpa harus belajar diving lebih
dulu. Kehidupan bawah laut benar-benar indah, serene...
Lebih
lanjut tentang Teh Nia Dinata bisa dibaca di Kompas kita , di harian Kompas Selasa
1 November 2011. Berikut cuplikannya:
Amanda Puspita Sari: Mbak Nia salah satu
pembuat film Indonesia favorit saya karena konsisten mengangkat film bertema
feminisme, seksualitas, dan LGBTIQ (lesbian, gay, biseksual, transgender,
interseks, dan queer). Apa yang ingin Anda sampaikan melalui film-film tersebut?
Nia
Dinata: Kaum minoritas itu tidak bisa dianggap tidak ada. Kita semua ada di
dunia ini unik , dan saya percaya keunikan masing-masing dapat memperkaya
dinamika masyarakat secara umum.
Gita Maria: Saya menyukai film yang
memotret kehidupan sosial komunitas dan menceritakan pahit manisnya kehidupan
mereka. Itu sebabnya saya mengagumi film karya Teh Nia. Apa yang menginspirasi
Teh Nia membuat Arisan!, Berbagi Suami, dan Perempuan Punya Cerita ?
Mana yang Teh Nia lebih sukai, menjadi
sutradara atau produser film ?
Nia
Dinata : Sebenarnya hampir semua inspirasi datang dari hasil observasi saya
dalam kehidupan sehari-hari. Apa yang terjadi di sekitar kita dalam 24 jam di
satu hari itu sebenarnya kaya dengan cerita kemanusiaan. Arisan! Benar-benar terinspirasi persahabatan saya dengan beberapa
kawan sejak SMA. Kehidupan kami berevolusi,
kami sangat sibuk setelah dewasa dan jarang memiliki waktu bertemu. Namun, kami
selalu menyayangi satu sama lain. Ada saja masalah hidup yang kami pecahkan
bersama.
Kalau Berbagi
Suami, saya mulai menulis skenarionya karena gelisah mengamati fenomena
poligami di Indonesia. Saya riset dan membandingkan fenomena tersebut di
negara-negara lain dan memang poligami adalah kebiasaan yang menimbulkan
masalah cukup universal. Di belahan dunia manapun mirip-mirip kasusnya hehe. Perempuan
dan anak-anak si pelaku poligami selalu menjadi korban.
Saya sebenarnya tidak alih profesi, tapi
menambah profesi hehe, dari sutradara ke produser atau penulis skenario. Semua
itu sama menyenangkan karena menghasilkan film yang sesuai dengan
prinsip-prinsip humanis.
Irma Fransisca: Mbak Nia, bagaimana cara
agar naskah atau sinopsis yang saya buat bisa nembus ke rumah produksi Mbak?
Nia
Dinata: Cara agar naskah sampai ke Kalyana Shira Films, email skenarionya ke kalyanashira@yahoo.com nanti dibaca asisten saya dulu, baru kalau formatnya
baik dan ceritanya menarik, disaring untuk saya baca. Karena setiap hari banyak
yang mengirimkan skenario, agak susah waktu saya untuk baca semua. Kalau sudah
di-email skenariomu, ingatkan saya
lewat twitter @tehniadinata, nanti
saya sisihkan waktu untuk membacanya. Good
luck!
Valda Kustarini: Apa sih yang menarik
dari membuat film? Unsur apa aja yang harus ada kalau kita mau bikin film yang
bagus?
Nia
Dinata: Wah, membuat film itu pekerjaan paling indah dan guru kehidupan paling
bijaksana. Karena dalam proses menulisnya saja sudah personal dan istimewa.
Kita terbenam dalam kata dan visualisasi berbulan-bulan, seperti sedang
meditasi sendiri hehe. Lalu, persiapannya membuat kita belajar membumi karena
harus bekerja sama dengan banyak orang dari latar belakang kehidupan dan
pendidikan yang berbeda-beda.
Lalu, film juga ada faktor ekonomi
kreatifnya. Saya harus belajar mencari investor dan mencoba memahami pemikiran
kapitalis sehingga harus pandai berdiplomasi agar tak terseret terlalu jauh ke
dunia itu. Intinya, membuat film mengajarkan saya untuk balance dalam melihat hidup.
Untuk membuat film bagus, kita harus
sabar, mau bersusah payah mengembangkan cerita berbulan-bulan, bahkan
bertahun-tahun. Kita tak boleh patah semangat karena pasti akan ada
penolakan-penolakan. Paling penting bikin film itu tak bisa buru-buru. Semua
ada tahapan-tahapan dan proses yang harus dilewati. Bukan instan, bulan ini shooting, dua bulan lagi filmnya tayang.
Bramantyo: Apakah ada
film yang terinspirasi kehidupan pribadi?
Nia
Dinata: Memang tema bisa dari kehidupan pribadi, seperti friendship dalam Arisan! yang
terinspirasi persahabatan saya dengan beberapa kawan sejak SMA. Tapi, detail
ceritanya hanya imajinasi. Film-film lain, hampir semua terinspirasi analisis
yang saya lakukan sehari-hari, melihat kehidupan dan konflik-konflik yang ada
di dalamnya.
Yogi Hendra: Bagaimana
perjuangan Mbak Nia sampai menjadi
sutradara sukses?
Nia
Dinata: Sukses sebagai sutradara itu sebenarnya relatif, Yogi. Yang penting
kita harus passionate dalam
menjalankan pekerjaan pilihan. Tapi passion
saja tak cukup. Yang penting harus ada kesadaran (consciousness) dalam menjalankannya sehigga selalu keluar energi
yang memadai dari diri kita.
Menjadi sutradara dan produser film itu
pekerjaan yang memeras otak dan fisik sekaligus. Karena energi itu available, semua menjadi ringan
jalannya.
Hartoyo: Mbak Nia melalui Kalyana Shira
Foundation banyak memproduksi film tentang situasi perempuan dan kelompok
marjinal, seperti kelompok gay dan waria di Indonesia. Apa yang mendasari Mbak
Nia mau memproduksi film-film bertema isu tersebut, yang masih dianggap
sensitif? Apakah tantangan terberat dan kesenangan dalam menghasilkan film-film
tersebut?
Nia
Dinata: Saya melakukan itu karena kepedulian terhadap film-film tentang
kelompok gay dan waria di Indonesia
masih minim. Kalaupun ada, kelompok ini hanya dijadikan bahan lelucon. Padahal,
film bisa dijadikan media berekspresi yang tokcer untuk siapa saja termasuk
kelompok ini. Jadi, saya sengaja melalui Yayasan Film Kalyana Shira berfokus di
area yang tak banyak kalangan ingin dukung.
Monika Ekawati: Bagaimana ide kreatif
itu selalu muncul melahirkan karya besar? Apa Mbak punya kiat tertentu untuk
semua itu? Sharing dong kiat-kiatnya. Bagaimana membagi waktu dengan tugas yang
lain? Bolehkan minta alamat emailnya?
Nia
Dinata: Semua itu berawal dari passion.
Jadi, memang sudah dari dulu suka dengan film dan sekolah film. Cerita-cerita
yang saya garap sebenarnya sederhana saja. Tapi kita terkadang melupakan hal-hal
simple. Padahal, dari sesuatu yang simpel bisa muncul cerita yang menarik.
Kiatnya ada di penokohan karakter ketika kita menulis. Masing-masing karakter
harus digambarkan dengan kuat dan unik sehingga selain penonton tertarik
mengikuti jalan ceritanya, mereka juga berempati dengan tokohnya.
Subendra Sie: Mbak Nia yang baik, tidak
berniat membuat film mengenai kondisi bangsa kita yang sedang carut-marut
seperti sekarang? Jika ya, kira-kira tema apa yang paling menarik?
Nia
Dinata: Subendra yang baik juga, memang kondisi bangsa kita sedang carut-marut,
hampir dari segala unsur. Jadi agak sulit mau menggambarkannya dalam sebuah
film. Tapi film itu kan potret kondisi sosial atas sebuah zaman, jadi bisa
diambil dalam banyak film dari sudut pandang yang beragam juga.
Tema yang paling menarik sebenarnya
bagaimana membuat film sejarah, tapi tidak kolosal. Cukup dengan pengkarakteran
dua tokoh penting saja, seperti Frost/Nixon,
salah satu film sejarah politik favorit saya.
Cita-cita saya juga untuk bisa membuat
film politik yang sederhana tetapi sangat dalam semacam itu. Bantu doa saja
ya...
Menarik
bukan pribadi dan pandangan hidup seorang Teh Nia Dinata...
Namaste
Beloved Friends...
Sabtu, 03 Desember 2011
LOVE HATE RELATIONSHIP
17.30 |
Diposting oleh
Guruntala |
Edit Entri
Pernah
dengar seorang Donatur Yayasan, misalnya Yayasan Dompet Dhuafa, Yayasan Kanker
Anak, ngomel-ngomel karena pihak yang diberi bantuan tak tahu berterimakasih? Kalo
saya tak pernah. Paling pol, donatur hanya
menanyakan transparansi suatu yayasan, untuk memastikan bahwa sumbangannya
tersalurkan untuk pihak yang membutuhkan.
Pernah dengar sukarelawan proyek sosial misalnya, sukarelawan di Blood4Life, sukarelawan di Yayasan Kanker Anak yang ngomel-ngeomel karena pihak yang diberi bantuan tak tahu berterimakasih? Saya belum pernah. Yang sering saya dengar adalah mereka bahagia bisa menjadi sukarelawan.
Bila yang dibantu adalah orang yang dikenal baik, saudara, teman, sering terdengar kata “tak tahu berterimakasih” karena pihak yang diberi bantuan perilakunya mengecewakan si pemberi bantuan.
Sering
terdengar kata-kata, “ Saat dia miskin dia minta bantuan ke aku. Giliran sudah
mapan, dia lupa padaku. Dia malah berteman dengan orang-orang yang saat dia
miskin tak mau menengok dia sebelah mata.” Atau kalimat familiar seperti “Yang
membantu dia dapat pekerjaan kan aku, sekarang saat aku butuh bantuan, dia tak
tergerak sedikit pun untuk nolong, huh.” Atau “Kalo lagi susah dia minta tolong
ke aku, giliran senang dia menengok pun tidak “.
Kenapa ngomel-ngomel ketika orang yang kita kenal mengecewakan, karena ada hubungan emosi. Kalo dengan orang yang tidak kita kenal, kita bahagia karena bisa membantu, selesai. Tinggal tunggu pahala dari Yang Maha Pengasih.
Orang
yang tidak kita kenal tidak akan mengecewakan kita. Orang yang kita kenal bisa
mengecewakan kita. Orang yang kita cintai bisa mengecewakan dan menimbulkan
kebencian yang amat sangat pada rata-rata kita.
Jumat, 02 Desember 2011
Modal Penulis
15.30 |
Diposting oleh
Guruntala |
Edit Entri
Seseorang
mention @ikanatassa, pengarang novel A Very Yuppy Wedding, mengapa isi
novel-novel Ika Natassa selalu menceritakan diri sendiri. Mungkin maksud
seseorang tersebut, tokoh-tokoh dalam novel-novel Ika Natassa adalah seorang
Banker seperti Ika Natassa.
Mira
W menulis novel yang tokoh-tokohnya seorang dokter seperti profesi Mira W.
Pengarang NH. Dini menulis seri novel tentang kehidupan yang dijalaninya mulai
kecil, jadi pramugari, istri Diplomat Perancis, hingga menjalani masa tua di Ungaran.
John Grisham yang terkenal dengan novel-novel best seller, A Time to Kill, The Firm, Pelican Brief, The Client dll bercerita seputar
dunia John Grisham, dunia seorang Lawyer.
Kamis, 01 Desember 2011
Teteh Mini
07.00 |
Diposting oleh
Guruntala |
Edit Entri
Teteh Mini datang Februari tahun ini ke
rumah sebagai Asisten Rumah Tangga. Saya bertanya-tanya, mengapa tuhan
mengirimkan seorang Teteh Mini ke saya, mengapa bukan Teteh yang lain.
Saat dia datang, saya menanyakan umurnya.
Saya: Kamu lahir tahun berapa? Mini : Tahun 2002 Bu. Saya tanya lagi: O, itu
tahun kamu masuk sekolah, yang kutanya kamu lahir tahun berapa? Mini : Tahun 2002. Saya : Yang kutanya, kamu lahir tahun berapa? Mini sambil memandang heran:
Tahun 2002 Bu. Saya diam terpekur. Wah, ini tanda-tanda orang yang gak betah di
rumah saya karena saya termasuk orang yang kurang sabar menghadapi ART tulalit.
Ternyata
dia betah juga di rumah hingga 10 bulan. Dia berjasa menjaga Ibu saya saat saya
Umroh, saat saya ke Gorontalo ikut reuni, saat saya keluar rumah untuk urusan
pekerjaan dan sosialisasi. Namun pada bulan ini, dia terpikat ajakan temannya
untuk bekerja di tempat yang lebih menjanjikan. Semoga dia mendapat Boss yang
sabar...
Alexandra Dewi
07.00 |
Diposting oleh
Guruntala |
Edit Entri
Saya
baru saja membaca buku “Pernikahan Antar Bangsa” dimana ada beberapa pasangan
yang menikah dalam kondisi “baru-kenal”. Mereka punya visi-misi yang sama,
menurut mereka, yaitu menomor-satukan Allah dalam pernikahan mereka. Punya
tujuan yang sama merupakan point yang bagus, namun bagaimana jalan bersama
menuju tujuan itu. Apakah membahagiakan ? Mungkin Ibu-ibu yang mengisahkan
kisahnya begitu ikhlas sehingga menerima apapun onak dan duri dalam
pernikahannya.
Saya
membaca juga kisah pernikahan antar-bangsa dalam majalah Pesona edisi Oktober
2011. Ibu yang menuliskan kisahnya dalam majalah Pesona ini lebih terbuka
dimana dia menceritakan bahwa kehidupan perkawinannya tak mudah. Walaupun dia -Hartati
Nurwijaya- menikah karena cinta, namun dia tetap mengalami masa-masa penuh
stress, bagaimana dia harus berjuang menghadapi culture shock dan post power
syndrome. Dari wanita yang memiliki penghasilan sendiri, menjadi peminta
uang pada suami. Hartati berhasil memulihkan kepercayaan-dirinya dan bisa
menjalani hari-harinya dengan bahagia. Dia menjadi penulis dan menjadi tour leader paruh waktu. Buku pertama
Hartati berjudul “Love and Shock:
Perkawinan Antar Bangsa” laris dan dicetak ulang.
Kisah
pernikahan yang happily ever after
hanya ada dalam Kisah Cinderella. Kenyataan dalam hidup tidak sesederhana itu. Untuk
itu orang harus terus belajar, dari pengalaman hidup, dari buku-buku. Buku-buku
karya Alexandra Dewi antara lain “the heart inside the heart” dan “It’s Complicated” very recommended
untuk wanita yang mau menikah maupun yang sudah menikah. Tulisan-tulisan di
buku Alexandra Dewi ini bagai teman
yang sharing pengalaman tanpa menghakimi.
Langganan:
Postingan (Atom)
Translate
About Me
- Guruntala
- 🌹A dam mast qalandar. #BlessingsClinic 🌹Give some workshops: Meridian Face & Body Massage, Aromatherapy Massage with Essential Oils, Make up. 🌹Selling my blendid Face Serum. IG & twitter: @guruntala