Rabu, 23 Oktober 2013

Tukang Koran Langganan


Foto dari Facebook Flower Power


Sudah beberapa bulan ini saya berniat untuk berhenti langganan koran. Ibu saya, 84 tahun, sudah malas membaca koran. Saya sendiri mengakses berita via koran online. Namun saya masih menunda untuk berhenti berlangganan. Saya merasa sedih karena harus berpisah dengan tukang koran langganan selama 10 tahun.

Begitulah, keadaan berubah. Ada pertemuan, ada perpisahan. Koran, majalah, buku sudah tergantikan oleh koran elektronik, majalah elektronik, buku elektronik. Namun, tetap ada rasa sedih ketika harus berpisah...

Kemarin saya menonton liputan tentang tukang topeng monyet di tv. Salut untuk Gubernur Jokowi yang melarang topeng monyet di Jakarta. Kasihan monyet disiksa untuk mencari duit bagi majikannya.
Tukang topeng monyet mengeluh, “Terus kami mau cari makan di mana?”

Jadi teringat tagline para pengamen di bis kota, “Kami terpaksa mengamen karena tidak ada lowongan pekerjaan”.

Semakin hari semakin banyak banyak pengamen di bis kota. Rasanya tidak enak bila tidak memberi uang receh. Akibatnya, susah untuk beristirahat di bis. Apalagi bila suara pengamennya cempreng atau fals trus keras pula. Benar-benar ujian kesabaran!

Seorang sopir angkot berkomentar, “Mereka (para pengamen) ini malas bekerja. Karena bekerja itu harus disiplin, tidak boleh sesuka hati. Ngamen kan waktunya bisa seenak mereka. Saya sejak muda tidak mau mengamen. Lebih baik jadi kernet angkot atau berjualan.”

Dengan adanya perkembangan teknologi komunikasi maka kita harus menyesuaikan diri, harus kreatif. Apa bisnis yang tenggelam, ada bisnis yang muncul. Misalnya, bisnis jual pulsa.

Agar sukses seseorang harus kreatif, punya niat yang kuat, punya keahlian dan mau bekerja keras. Demikian yang saya baca pada buku Total Sukses karya Bapak Anand Krishna.

Namun ada yang “salah” dari masyarakat kita. Masyarakat kita suka membeli buah, sayur, bawang, barang-barang dari Cina. Bahkan batik pun beli batik Cina karena lebih murah daripada batik produksi dalam negeri!

Bandingkan dengan nasionalisme orang Jepang, orang Korea, orang India. Orang Jepang akan membeli produk mereka sendiri walau lebih jelek dan lebih mahal daripada produk negara lain. Itulah mengapa industri mereka berkibar di dunia. Karena mereka mendukung saudara-saudara mereka sebangsa!

Beda dengan masyarakat kita. Beli sayur, buah, barang, batik dari Cina karena lebih murah. Padahal banyak petani kita yang menjerit, menangis karena hasil tanaman mereka tidak dibeli. Industri dalam negeri kita juga banyak yang tumbang karena tidak didukung oleh masyarakat!!!

Semakin hari semakin banyak pengangguran, semakin banyak penipu, perampok di negeri ini. Orang kaya juga tidak akan merasa aman. Setiap hari semakin banyak sms penipuan masuk ke handphone saya...

Bangsa ini miskin kesadaran. Sementara Guru Spiritual yang membangkitkan kesadaran, diperlakukan begitu keji, difitnah begitu keji, dipenjara walaupun tak bersalah...

Salam prihatin...
Terimakasih... Namaste _/l\_

Penghasilan 15 Juta per Bulan


Foto dari Facebook Flower Power


Saat makan di Bekasi Square, saya bersebelahan dengan beberapa Ibu yang sedang berbincang dengan antusias tentang bisnis MLM yang mereka jalani. Rupanya MLM yang mereka jalani adalah MLM makanan kesehatan yang konon melangsingkan.

“Ternyata sehabis minum “shake” kita jangan makan dulu. Karena percuma, nutrisinya akan kegilas makanan yang masuk barengan,” cerita Ibu A.

Saya tertawa dalam hati. Memang ada yang tidak bisa masuk perut secara bersama misalnya, antibiotik dan susu, karena susu akan menetralkan antibiotik itu. Tapi minuman kesehatan tidak boleh disambung dengan makanan? Hihihi, maksudnya agar diet. Percuma dong makan makanan diet terus disambung dengan makan seperti biasa.

MLM minuman shake ini menawarkan program pengelolaan berat badan alias diet sebagai penarik pelanggan. Namanya juga diet, harus atur makanan, harus menahan nafsu makan, harus olah raga. Tidak bisa kurus atau gemuk dalam sekejap, kecuali suntik kurus yang banyak efek samping.

Saya punya banyak kenalan yang berhasil dalam menurunkan berat badan sehingga berat badannya ideal. Kuncinya adalah mengendalikan diri. Ada beberapa teman tetap langsing pada usia menjelang 50 tahun. Mereka melakukan diet food combining. Pagi-pagi hanya makan buah atau minum jus. Siang baru boleh makan. Hasilnya memang mengagumkan. Badan tetap tipis padahal menjelang umur 50 tahun. Saya pingin juga langsing, namun belum bisa hanya makan buah di pagi hari. Perut berontak hihihi.

Saya disapa oleh ibu-ibu itu dan diberi brosur MLM itu. Oh, ternyata brosur MLM yang sudah terkenal itu. Saya tidak berminat untuk mengikutinya. Sudah beberapa MLM saya ikuti dan begitulah hihihi. Saya mengikuti tweet Pak Poltak Hotradero @hotradero tentang bisnis MLM. Dan saya setuju dengan pendapat Pak @hotradero. Tidak mudah untuk menjadi kaya dari bisnis MLM.

Pada brosur yang saya terima tertulis “Dapatkan Pelatihan menjadi Distributor dengan Income Rp 5 jt – 15 juta/ bulan”.

Ow, menarik sekali. Mungkinkah itu? Mungkin. Dengan upaya keras, kaki menjadi kepala dan kepala menjadi kaki. Termasuk perlu biaya transportasi untuk “membina” downline. Biaya transportasi ini bila dihitung-hitung menguras isi dompet. Dan menguras waktu banyak sekali.

Seorang teman mengeluh karena terganggu dihubungi terus oleh kerabat yang bisnis MLM.
“Kerabatku menawarkan makanan kesehatan, katanya, tetangga yang stroke sembuh setelah mengkonsumsi makanan kesehatan itu. Aku juga dulu begitu, sering lebay dalam promosi alias cipoa. Banyak teman dan saudara yang termakan promosiku sehingga mengeluarkan uang hingga beberapa juta, ada yang dua puluh juta, untuk membeli produk yang aku tawarkan. Hasilnya hihihihi. Hanya omong besar. Produknya ternyata biasa saja. Yang hebat adalah promosi kita wkkkkk,” cerita si teman ini.

Demikian... perlu akal sehat agar tidak terjebak dalam harapan palsu.
TerimaKasih... Namaste _/l\_
Selasa, 08 Oktober 2013

Belajar dari Penulis Serba Bisa: Dewi Lestari




Tulisan ini saya kutip dari buku “My Life as Writer” karya Haqi Achmad dan Ribka Anastasia Setiawan. Namanya juga kutipan, isinya hanya sedikit dong dibandingkan dengan bukunya. Yang penasaran silakan beli di toko buku ya...

Penulis fenomenal. Mungkin itu sebutan yang paling pas untuk seorang Dewi Lestari. Awalnya publik lebih mengenal sosoknya sebagai seorang musisi sampai akhirnya di 2001, Dewi melakukan gebrakan besar dengan menerbitkan novel pertamanya Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh.

Setelah novel pertama, langkah Dewi di dunia tulis-menulis seakan tidak dapat dibendung. Dewi melanjutkan langkahnya dengan menerbitkan Supernova: Akar di 2002 dan pada 2005 ia melanjutkan seri Supernova dengan menerbitkan buku berikutnya yang diberi judul Petir.

Dewi menerbitkan kumpulan cerpen Filosofi Kopi di 2006. Di 2007, Dewi membuat novel digital pertama berjudul Perahu Kertas. Pada 2008, Dewi membuat Rectoverso dan di 2009 Perahu Kertas diterbitkan dalam format buku. Tahun 2011 Dewi kembali menerbitkan kumpulan cerpen yang diberi judul Madre dan setahun setelahnya ia menerbitkan buku keempat dari seri Supernova yang berjudul Partikel. Perjalanan Dewi sebagai penulis memasuki titik baru ketika ia menulis skenario film Perahu Kertas yang disutradarai Hanung Bramantyo.

Dewi Lestari terus membuat banyak orang kagum dengan karya-karyanya. Dewi terus membuat semua orang yakin bahwa ia memang juaranya, bahwa apa pun yang dihasilkannya akan selalu menjadi magnet yang menarik banyak orang. (halaman 86).

Dewi mulai menulis sejak ia kelas 5 SD. Pada waktu itu, Dewi memiliki khayalan yang kemudian menggerakkannya untuk mulai menulis.

Jika ada hal paling rutin yang aku lakukan seumur  hidupku, selain makan dan minum, hal itu adalah menulis buku harian.

Dewi rutin menulis buku harian, menuliskan ceritanya dengan tulisan tangan hingga 1995.

Dimuatnya cerpen di majalah Mode dan kemenangan pada lomba menulis di majalah Gadis membuat motivasi Dewi untuk menulis menjadi lebih kuat. Dari motivasi tersebut, Dewi melangkah lebih lanjut.

Penulis handal tidak muncul tiba-tiba. Dia rajin melatih diri. Bisa dengan rajin menulis buku harian seperti Dewi. Bisa dengan rajin membayangkan sebuah cerita dan mulai merangkai cerita itu dengan tekun seperti yang dilakukan oleh JK. Rowling.

Apa yang membuat Dewi memutuskan untuk menjadi penulis?

Pertama, karena menulis adalah sesuatu yang aku bayangkan akan terus aku lakukan sampai tua nanti. Di satu sisi, menulis adalah profesi yang sangat langgeng dibandingkan dengan industri hiburan atau dunia olahraga. Atlet hidupnya sangat terbatas, penyanyi terbatas, model juga terbatas. Tapi kalau menulis, sampai seseorang tua renta, selama fisik dan otaknya dapat bekerja, ia dapat terus menulis. Bahkan ketika seseorang tidak lagi dapat mengetik, ia dapat menyuruh orang untuk mengetik.

Kedua, menulis memberikan kemerdekaan untuk lebih banyak di rumah. Menulis tidak mengharuskanku terjebak macet di jalan. Menulis membuatku tidak perlu tampil menjadi orang lain yang bukan diriku. Dalam artian aku nggak perlu make up atau dandan heboh untuk menunjukkan aku penulis. Sebagai penulis, aku berbicara lewat bukuku.

Kamu ingin menjadi penulis?
Menurut Dewi ada beberapa syarat yang wajib dipunya jika kamu ingin menjadi penulis:
1.      Berani Gagal
2.      Berani Berhasil
3.      Menjadi Pengamat yang Baik.
4.      Jujur dengan diri sendiri.

Kalau dari parameter luar, kesuksesan penulis dapat dilihat ketika bukunya masuk ke kategori bestseller dan dia bisa mandiri dari royalti menulis. Menurutku, itu adalah tolak ukur yang sangat jelas.

Kamu ingin menjadi penulis tapi merasa bahwa kamu tidak memiliki bakat menulis? Jangan sedih! Menurut Dewi, faktor untuk menjadi penulis bukan bakat, melainkan kerja keras.  

Ingin mengintip cara Dewi Lestari dalam menyelesaikan buku?

Tiap ada proyek atau buku yang sedang aku kerjakan, aku harus pakai target, kalau nggak ada target semuanya bisa molor.”

“Menurut aku, kunci jawaban dari segala distraksi ketika menulis adalah tenggat. Kalau ada deadline, kamu akan menemukan berbagai macam cara untuk menyelesaikan tulisanmu. Kalau nggak ada tenggat bisa saja kamu berhenti menulis”

“FYI, aku tidak menulis setiap hari. Aku punya jadwal menulis ketika aku sedang punya proyek atau sedang menyelesaikan buku. Sifatnya lebih ke project based. Aku juga pengin punya rasa bebas dan tidak tiap hari menulis.”

Karena sesungguhnya aku pun punya masalah dengan rutinitas. Seperti sekolah misalnya. Aku, tuh, selalu bertanya-tanya, why do I have to be at the same place at the same time, everyday? Bagiku itu neraka.”

“Menulis pun sama. Tapi ketika aku sudah set up, misalnya,” Oke aku mau nulis proyek baru”, aku benar-benar dalam sekian bulan akan terus menulis dan menjadikannya ritual. Tapi setelah proyek itu selesai aku mau menikmati masa-masa tanpa menulis, hanya baca, main sama anak, dan melakukan hal lain tanpa harus dikejar-kejar nulis.”

Apa manfaat menulis yang telah Dewi dapat?

“Jika ditanya apakah menulis bisa membuat hidupku lebih berkualitas, bermutu, dan berbahagia, jawabanku, ya. Karena ini memang hal yang aku inginkan banget. Dan di sini aku berkembang. Aku bertemu banyak orang karena menulis.

“Dan saat ini bisa dibilang menulis adalah nafkahku, profesiku. Aku tidak banyak lagi ambil job musik yang banyak keluar rumah. Aku lebih banyak nulis di rumah dan sebagian besar pendapatanku adalah dari royalti. Jadi, menulis adalah tempatku mencari nafkah.

Demikian kutipan tentang  Dewi Lestari dari buku My Life as a Writer. Kutipan ini tidak sampai 3 halaman, sementara bukunya setebal iv + 192 halaman. Buku ini berkisah tentang pengalaman Alanda Kariza, Farida, Clara Ng, Vabyo, dan Dewi Lestari dalam meniti karir dan menjalani profesi sebagai penulis. 

Keren kan...
TerimaKasih... Namaste _/l\_


Belajar dari Penulis Produktif: Clara Ng




Saya suka rubrik “Aku & Rumahku” pada Harian Kompas Minggu, 6 Oktober 2013, yang menampilkan rumah Clara Ng. Yang menarik sih adalah cerita penghuninya karena penataan rumah Clara tampak sederhana. Yang unik mungkin koleksi ribuan buku pada ruangan kerja Clara.

“Saya menulis di satu laptop, tetapi mengerjakan tulisan itu dengan mengakses dua laptop dan ribuan buku di ruangan ini,” katanya tertawa.

Sisanya, Clara sendirian. Ia memang selalu menganggap proses kreatifnya adalah kerja soliter. Kesendirian memberinya ruang dan waktu untuk bercengkerama dengan tokoh-tokoh rekaannya, melintaskan mereka dari ruang dan waktu rekaan yang satu ke ruang dan waktu rekaan lainnya.

Menulis memang pekerjaan yang menuntut kesendirian. Walau ada yang penulis yang suka menulis di cafe, tetap saja dia “menyendiri” dalam dunia menulis. Hanya ada dia dan tulisannya.

Gemericik air dari kolam di samping ruang keluarga itu lebih sering terdengar dibanding suara televisi gara-gara “no tv rule” yang diberlakukan bagi Elysa dan Catrina.

Sudah tiga tahun kami dilarang menyalakan televisi,” tutur Elysa tersenyum-senyum. Hasilnya, Elysa lebih banyak membaca, bahkan mulai melahap dan menulis resensi karya para peraih Nobel Sastra, seperti Ernest Hemingway atau William Faulkner, di dalam blognya. Semua, lagi-lagi dari kamar kerja Clara.

Televisi banyak menyita waktu ya. Karena tidak menonton televisi, Elysa dan Catrina jadi banyak membaca, dan menulis di blog! Membaca membuat seseorang lebih cerdas, beda dengan menonton televisi yang membuat otak tidak berimajinasi.

Saya terkesan dengan blog Elysa Ng. Elysa masih berusia 11 tahun namun sudah bisa menulis resensi buku yang berbobot, dengan bahasa Inggris yang lancar pula.

Saya hanya keluar rumah jika memiliki tujuan pasti dan tidak mengundang kawan ke rumah. Tidak ada pelatihan menulis di rumah, tidak ada perbincangan dengan kolega di rumah. Tamu yang paling sering datang adalah kurir pembawa kontrak kerja penulisan,” tawa Clara lepas.

Jarang keluar rumah dan rajin bekerja adalah rahasia mengapa Clara begitu produktif. Saya pernah membaca twit Alberthiene Endah, penulis yang sangat produktif, bahwa beliau mengurangi acara pergi-pergi, main ke mall, agar bisa produktif menulis. Nongkrong di cafe atau sering ke mall memang membuang-buang waktu.

Ada “kemewahan” lain Clara, sesuatu yang selalu menautkan dengan kenangan masa kecilnya. Di rumah Clara, sang ayah “menyita” sebuah ruang di lantai atas untuk menaruh ratusan koleksi guci dan keramik yang diselamatkan dari 16 kapal dagang yang berabad-abad silam tenggelam di berbagai laut perairan Nusantara. “Saya mengumpulkannya selama lebih dari 30 tahun,” kata sang ayah, Atma Djuana, yang Selasa sore singgah di rumah Clara.

“Koleksi itu adalah bagian dari masa kecil saya,” katanya tertawa. “Masa kecil saya hidup dengan kegemaran ayah saya memburu keramik dan guci kuno. Karena hobi ayah saya akan barang bersejarah, setiap minggu saya dibawa jalan-jalan ke museum di seluruh Jawa dan Sumatera,” ujarnya.

Tak aneh kalau Clara Ng selalu kaya khayalan, masa kecilnya memang kaya warna. “Ah, saya malah belum pernah membuat cerita dari pengalaman masa kecil keluar masuk museum itu,” katanya, lagi-lagi tertawa. Tertawa yang kemudian menandakan keluarga ini selalu dilimpahi kebahagiaan.

Kekayaan seorang penulis memang imajinasi. Dan kekuatan Clara adalah giat bekerja. Tanpa giat bekerja, mustahil untuk menjadi penulis produktif.

Menarik bukan?

TerimaKasih...Namaste _/l\_

Translate

About Me

Foto Saya
Guruntala
🌹A dam mast qalandar. #BlessingsClinic 🌹Give some workshops: Meridian Face & Body Massage, Aromatherapy Massage with Essential Oils, Make up. 🌹Selling my blendid Face Serum. IG & twitter: @guruntala
Lihat profil lengkapku

Followers

Komentar Terbaru

Visitors

free counters