Minggu, 29 Desember 2013

Bangun Trisna



Gambar dari Facebook Flower Power

Bangun trisna adalah ungkapan orang Jawa tentang perasaan cinta. Bukan ”fall in love” atau “jatuh cinta” tapi “bangkit cinta”. Indah sekali, cinta seharusnya membangkitkan kita, bukan membuat kita terjebak dalam keterikatan.

Bangun trisna: Love should be awakening us...

Beberapa teman saya adalah istri yang dikekang suami dengan banyak aturan. Aturan memang perlu, bukan untuk istri saja tapi untuk suami juga. Misalnya menjaga diri agar tetap berada di “jalur yang benar”. Seseorang harus menjaga pergaulan. Benar kan ya. Bila berteman dengan seorang penipu bukankah kita akan ikut-ikutan menjadi seorang penipu juga?

Selama ini saya kurang memakai intelegensia saya. Ketika masih muda, saya berpikir bila kita mencintai suami maka kita harus mengikuti kehendak suami. Ternyata salah besar. Bagaimana bila suami kita punya masalah sendiri, punya obsesi besar, kurang perhatian, bahkan posesif, cenderung menekan istri?  Istri jadi tertekan, tidak berkembang  potensinya.

“Aku bertanggung jawab penuh atas hidupku ini”. Ini merupakan afirmasi pertama dalam latihan Kundalini Yoga. Afirmasi ini sangat powerful. Saya, dengan segala kebodohan saya, pernah percaya bahwa suami berniat membahagiakan saya. Bodoh sekali. Ternyata suami dan obsesinya bukan saja “tidak membahagiakan” saya tapi membuat saya tercabut dari rasa aman.

Pelajaran terpenting dari perkawinan saya adalah “saya bertanggung jawab penuh atas kehidupan saya sendiri, pada kebahagiaan saya sendiri”.

Suami, sebagaimana manusia umumnya, bisa manipulatif, bisa berbohong untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka bisa berkata manis, “Saya melakukan ini untuk membahagiakanmu.”

Saya jadi panas membaca kultwit Fahri Hamzah @Fahrihamzah tentang mengapa Anaway, istri Anis Matta, lapang dada menerima Szilvia untuk menjadi istri kedua Anis Matta dan tinggal serumah dengannya. Apakah cinta Anis Matta membuat Anaway bangun trisna, bangkit kebahagiaannya?

Mungkin Anaway punya hati seluas samudra. Mungkin. Namun apa yang bisa dilakukan seorang istri dengan 7 anak ketika suami mau beristri lagi? Mau minta cerai? Tentu istri akan berpikir tentang sekolah dan kepentingan 7 anaknya. Lagipula karena kesibukan dalam mengurus 7 anak, istri tidak sempat mengasah diri memperdalam skill dan knowledge nya. Bagaimana dia harus menanggung biaya hidup dan pendidikan 7 anak bila dia menjanda?

Mungkin mantan suami tetap bertanggung jawab dalam memberi nafkah pada anak-anaknya. Namun tentu saja tidak ada jaminan. Banyak istri yang memutuskan untuk tetap menanggung beban perasaan sebagai istri yang dimadu karena kepentingan anak-anak.

Saya heran dengan orang-orang partainya Anis Matta ini. Mereka senang mempunyai anak banyak. Jadi ingat “InfernoDan Brown. Bila ledakan penduduk tidak dapat dikendalikan, bumi ini akan menjadi neraka. Sebagian penduduk bumi akan mati karena memperebutkan air dan makanan untuk survive.

Orang bisa pintar secara intelektual. Mereka bisa menjadi sarjana, master atau doktor. Namun bila tidak menggunakan intelegensia maka mereka tidak bisa memikirkan kepentingan yang lebih luas dari kepentingan diri sendiri dan kelompok.

Mungkin satu pasangan sanggup membiayai hidup dengan anak 10, anak 12, anak 9. Namun bagaimana dengan daya tampung bumi? Lagipula pada masa sekarang ini, sulit untuk survive dengan anak yang terlalu banyak. Bagaimana bila si bapak kena phk, jobless? Bagaimana dengan biaya hidup dan biaya pendidikan banyak anak itu?

Bangun trisna...Love should be awakening us...

Apakah pernikahan dengan seseorang membuat kita bangkit? Bangkit segala potensi baik dalam diri kita sehingga kita bisa membahagiakan diri kita dan bisa berbagi kebahagiaan dengan orang lain? Bila itu terjadi maka kita memang benar-benar bangun trisna.

Semoga kita semua dalam keadaan bangun trisna. Amin.
Terimakasih... Namaste _/l\_
Kamis, 05 Desember 2013

Review Film : Sagarmatha




Ternyata film Sagarmatha tidak lama ditayangkan di bioskop. Sayang sekali. Padahal film ini keren banget. Ceritanya kereen! Sepertinya perlu beli DVD film ini.

Film ini berkisah tentang dua sahabat, Shilla dan Kirana, yang setahun lalu pernah berjanji untuk mendaki hingga puncak tertinggi pegunungan Himalaya, Mount Everest. Sagarmatha adalah bahasa Nepal untuk Mount Everest.

Ternyata perjalanan ini juga merupakan perjalanan batin dua sahabat karib ini.

Kirana berpendapat bahwa seorang wanita harus berjuang untuk mencapai puncak prestasi tertinggi dalam hidup. Jangan sampai cita-cita itu terganggu dengan tetek bengek mengurus suami dan anak-anak.
Kirana menyemangati Shilla agar menggapai cita-cita untuk menjadi penulis yang hebat. Sementara Shilla selalu membayangkan rumah hangat, yang isinya adalah Shilla, suami, anak dan cucu.

Dalam pendakian ke Sagarmatha ini, Shilla mempertimbangkan apa yang benar-benar diinginkannya. Mencapai prestasi puncak untuk diri pribadi atau membangun rumah tangga yang tentunya sedikit menghambat ambisi pribadi.

Menarik untuk dipikirkan para wanita muda ya *wohoooo...

Yang saya sukai dalam menonton film adalah menikmati kota latar belakang cerita. Di film ini kita melihat Kolkata yang kumuh dari dekat. Melihat bagaimana pemandangan dari kereta api dari India menuju Nepal. Trus melihat Potala. Melihat kehidupan masyarakatnya. Tampaknya kota Nepal dan Potala kota yang sederhana ya. Beda dengan Indonesia yang megah walau harta bangsa ini sudah digadaikan.

Sukaaa banget melihat pemandangan saat Shilla dan Kirana mendaki. Subhanallah... Indahnya Himalaya... Indahnya ibu bumi...

Dan saya setuju dengan tagline Kirana: “Pada akhirnya setiap orang harus sendiri”.

Ya, setiap orang harus sendiri. Ada suami atau tidak bersuami, tanpa anak atau beranak banyak, tanpa keluarga atau dikelilingi keluarga, pada akhirnya manusia itu harus sendiri, harus menempuh perjalanan sendiri-sendiri.

Jadi terharu banget menonton film ini. Sangat terkesan.

Terimakasih... Namaste _/l\_

Review Film: The Counselor




Jadi tertarik nonton “The Counselor” setelah melihat poster filmnya. Ada Cameron Diaz, Brad Pitt, Penelope Cruz. Sepertinya menarik...

Ternyata film “The Counselor” ini tentang perdagangan narkoba yang sadis banget. Sampe beberapa kali tutup mata karena tidak tahan nonton kesadisannya.

Yang menarik adalah kematangan Cameron Diaz. Wanita matang, sexy, unpredictable...

Si tokoh bernama Counselor ini tampaknya pintar tapi ternyata sangat bodoh. Dia tidak menyadari betapa kejamnya dunia mafia narkoba hingga calon istri yang sangat dicintainya diculik, dan nyawanya sendiri terancam hingga hidupnya hancur.

Jadi mikir... Selama ini saya pikir hidup saya tenang. Ternyata saya kurang membuka mata. Hingga saya menyaksikan sendiri bagaimana seorang guru spiritual yang tidak bersalah secara sistematis dijebloskan ke dalam penjara. Ternyata mafia hukum itu ada juga di Indonesia.

Sering saya baca di koran tentang pengedar narkoba yang tertangkap. Ternyata banyak juga pecandu narkoba. Dan pastinya ada mafia narkoba di Indonesia. Hanya saya kurang menyadari saja.

Baca deh http://www.thrivemovement.com/ Ternyata banyak mafia di dunia ini. Antara lain mafia di industri farmasi.

Banyak sekali kekejaman di sekitar kita. Banyak mafia di sekitar kita. Bermula dari nafsu dan keserakahan. Akhirnya mengeksploitasi pihak lain, tega melakukan kekejaman yang luar biasa.

Mari menjadi kuat. Kuat agar tidak dikuasai hawa nafsu, juga kuat agar tidak dikuasai mafia yang serakah dan kejam. Amiin

TerimaKasih...Namaste _/l\_
Sabtu, 16 November 2013

Karlina Supelli


Foto dari DewiMagazine.com


Senang mendengar pidato kebudayaan yang dilaksanakan setahun sekali oleh Dewan Kesenian Jakarta untuk tahun ini diisi oleh Ibu Dr. Karlina Supelli.

Saya mengenal Karlina Supelli sejak zaman SMA saya. Saat itu Karlina banyak diliput oleh media massa karena prestasinya sebagai mahasiswi pertama lulusan Astronomi ITB, dan mendapat predikat cumlaude pula.

Saya sampai mendaftar ke jurusan Astronomi ITB karena ngefans sama Karlina. Wkkkkkk...syukur tak lulus. Bisa puyeng kepala saya berurusan dengan matematika dan fisika tingkat tinggi. Mana tahaaaan wkwkwk.

Saya juga rajin mengkliping tulisan Karlina di Kompas, rajin mengkliping majalah yang memuat wawancara dengan Karlina. Gitu deh saya kalo lagi ngefans. Lucu juga mengingat saya sampai merenungkan tulisan-tulisan Karlina di Kompas, padahal mana mudeng saya dengan filsafat. Sekarang saya bisa ngikik guling-guling mengenang hal ini, namun dulu saya serius banget loh merenungkan tulisan Karlina di Kompas.

Ketika ada peringatan Hari Kartini di Institut Teknologi 10 November tahun 80an, ada questioner yang antara lain menanyakan “siapa wanita idola anda”. Tak ragu lagi saya tulis, La Rose dan Karlina Supelli. Wkkkk... jadi geli. Mana sangka saya sekarang suka menulis juga  seperti La Rose, dan suka filsafat juga seperti Karlina. Walau tentu saja filsafat yang saya suka adalah filsafat yang ringan-ringan. Saya suka baca tentang simbol. Saya suka baca buku Dan Brown karena menyangkut simbol. Haiah...ngomong apa sih saya ini, dari mana hingga kemana wkkkkkk...

Beruntung pada pameran buku November 2013 di Istora Jakarta saya menemukan buku “Dari Kosmologi ke Dialog, Mengenal Batas Pengetahuan, Menentang Fanatisme” karya Karlina Supelli. Saya pernah membaca wawancara Karlina Supelli dengan Kompas tentang bagaimana buku ini ditulis.

Hidup terlalu berharga sehingga harus diperjuangkan, Karlina pun bangkit menulis buku dalam keadaan sakit. Syukurlah, Karlina sembuh dari kanker. Saya baca Karlina terkena kanker pada 6 bulan setelah saudara soulmate nya, Alex Supelli, meninggal karena kecelakaan pesawat. Biasanya duka mendalam bisa mencetus kanker...

Saya mengikuti tulisan Karlina di Majalah Pesona walau kadang saya tak mengerti. Filsafat tingkat tinggi boo. Dan saya pernah bertemu muka dengan Karlina saat Karlina menjadi pembicara pada acara Happy Saturday yang diselenggarakan oleh Majalah Pesona.

Beruntung ya saya... Saya sudah bertemu dengan penulis-penulis idola saya, mulai dari Almarhumah La Rose, Karlina, Cak Nun, Anand Krishna, Alberthiene Endah, Dee Lestari, Raditya Dika dll. Pamer booo wkkkkk

Bahkan saya tahu gosip tentang Ibu Karlina. Saudara saya yang mengenal Karlina di ITB bercerita, “Saya tidak sangka Karlina bisa berpisah dengan Ninok Leksono mengingat bagaimana Ninok dulu menguber-nguber Karlina. Mas kawin untuk Karlina saat menikah adalah pembacaan Asmaul Husna oleh Ninok Leksono. Sungguh menyentuh hati.”

Begitulah. Jalan hidup kita tidak tahu. Perjalanan cinta, berapa lama seseorang terikat dalam ikatan suami istri tidak lepas dari utang piutang karma atau takdir.

Yang pasti, Karlina Supelli adalah salah satu wanita idola saya...
TerimaKasih... Namaste _/l\_
Jumat, 15 November 2013

Cara Asyik Menulis Memoar / Travel Writing a la Agustinus Wibowo




Menarik membaca perbincangan LitBox @literarybox dengan Agustinus Wibowo @avgustin88 tentang menulis memoir pada tanggal 15 November 2013 di twitter;p

Agustinus Wibowo adalah salah satu penulis favorit saya. Rugi deh bila melewatkan buku-bukunya: Garis Batas, Selimut Debu, dan Titik Nol.

Berikut perbincangan LitBox dengan Agustinus Wibowo :

LitBox @literarybox: Apa alasan utama @avgustin88 menulis memoir? #WOTWQA

Agustinus Wibowo @avgustin88 :
1.1. Menulis memoir karena saya sadar memori itu tidak abadi, suatu saat pasti akan pudar dan mati, terkubur bersama pemiliknya.
1.2. Sebelum menulis, saya dibebani begitu banyak memori yang campur aduk, rasanya sangat menyiksa.
1.3. Memori yang campur aduk itu pun bagai masa lalu yang campur aduk, saya jadi penasaran apa makna hidup saya selama ini.
1.4. Memoar buat saya juga adalah perjalanan spiritual untuk menjawab berbagai pertanyaan filosofis dalam hidup, dan bikin saya tetap hidup.
1.5. Memoar terbaru saya tulis sebagai terapi psikologis, untuk membebaskan diri dari depresi karena kehilangan orang yang paling saya cintai.

LitBox @literarybox: 2. Memulis memoir = menuliskan hidup @avgustin88 untuk dibaca banyak orang. Apa saja pertimbangan Mas Agus sebelum menuliskannya?

Agustinus Wibowo @avgustin88:
2.1. Pertimbangan pertama adalah alasan personal, untuk pribadi saya sendiri. mengabadikan memori dan menjawab misteri hidup.
2.2. Dengan menulis memoar, masa lalu yang berantakan itu ditata ulang, seperti puzzle, sehingga menjadi berwujud nyata.
2.3. Menulis memoar juga menyadarkan saya bahwa perjalanan hidup yang telah saya lewati adalah hidup yang layak dijalani.
2.4. Dengan menulis memoar, saya bisa semakin menghargai hidup, menghargai masa lalu, masa kini, dan impian masa depan.
2.5. Alasan kedua, adalah berbagi. Supaya pembaca bisa mendapat hikmah dari perjalanan saya tanpa harus menjalani hidup saya.
2.6. Pertanyaan paling penting dalam menulis memoar adalah “How far would you go?”, “Sejauh mana bisa kau bagikan hidupmu untuk publik?”
2.7. Kurang detail bisa menjadikan memoar kering, tidak nyata. Terlalu detail malah bikin boring dan ga penting.
2.8. Tantangan memoar adalah bagaimana merangkum hidup dalam space yang terbatas. Pembaca juga tak perlu& tidak ingin tahu semua hal.
2.9. Semakin dirangkum, yang kita dapatkan adalah hal-hal yang paling esensial dari hidup kita. Kadang kita gak dapatkan ini kalau bukan untuk berbagi.

LitBox @literarybox: Apakah semua pengalaman yang ditulis @avgustin88 itu nyata, atau untuk alasan tertentu ada yang “diperhalus/disamarkan”?

Agustinus Wibowo @avgustin88:
3.1. Memoar adalah karya non fiksi, jadi semua harus realita, tidak boleh menciptakan realita.
3.2. Memoar yang ada unsur fiksinya,walaupun sedikit, sudah bukan memoar, harus dilabeli sebagai novel/fiksi.
3.3 Intinya adalah penulis memoar harus berusaha semaksimal mungkin setia pada kebenaran memorinya, walaupun memori takselalu benar.
3.4. Memoar juga tidak berarti semua hal harus dituliskan, bisa dipilah, bisa dikurangi detail untuk hal-hal tertentu dsb.
3.5. Banyak pertimbangan untuk menentukan mana yang harus ditulis, mana yang dihapus, tokoh mana yang harus dijaga privasinya.
3.6. Beberapa tokoh saya juga menggunakan nama/identitas samaran, demi melindungi privasi mereka. Dalam memoar  tak masalah.

LitBox @literarybox: 4. Banyak yang suka dan terharu dengan kisah Mama di Titik Nol, @avgustin88. What drive did you have at that time to write & share it in ur book?

Agustinus Wibowo @avgustin88:
4.1. Di saat-saat terakhir, baru saya menyadari kisah  Mama ternyata adalah bagian penting dalam perjalanan saya.
4.2. Perjalanan untuk kebanyakan orang adalah tentang pergi. Tapi pertemuan dengan Mama saat beliau sakit menyadarkan saya perjalanan adalah untuk pulang.
4.3. Saat-saat menemani orang tua yang hendak meninggal adalah saat-saat paling berat sekaligus paling membahagiakan.
4.4. Setelah perjalanan jauh dan pulang untuk melihat rumah/keluarga, saya belajar melihat dari sisi yang berbeda.
4.5. Kita biasa take-for-granted rumah/keluarga, padahal begitu banyak hak yang tidak kita ketahui tentang rumah/keluarga kita sendiri.
4.6. Pada saat ini saya baru mengenal masa kecil mama, mimpinya, cintanya, cemburunya, marahnya, rahasianya, kebahagiaannya dll
4.7. Sosok ibu yang dulu saya  kira  sudah saya kenal dekat, ternyata masih begitu asing. Saya beruntung masih punya sedikit kesempatan mengenal beliau.
4.8. Hikmah inilah yang ingin saya bagikan untuk pembaca. Perjalanan bukan hanya tentang tempat jauh, perjalanan bisa di rumahmu sendiri.

LitBix @literarybox: 5. Ceritain pengalamannya nyamar jadi penduduk Cina supaya bisa masuk ke Tibet dong, @avgustin88. Buat ngejar story?

Agustinus Wibowo @avgustin88:
5.1. Bukan buat ngejar story, tapi terpaksa menyelundup ke Tibet karena aturan yang anti pengunjung asing.
5.2. Jadi orang asing yang ke Tibet harus pake guide dan penerjemah, urus permit yang mahal, sewa mobil dsb. Saya tak ada dana itu.
5.3. Dan saya tidak suka perjalanan yang didikte, saya suka petualangan saya sendiri, jadi saya pilih menyelundup.
5.4. Menyamar jadi warga Cina. Paling takut kalo ada pos milisi/militer karena bisa dihukum/dideportasi . Pernah hampir ketangkap.
5.5. Untunglah karena faktor wajah dan bahasa, saya masih bisa selamat dengan menyamar sebagai warga Cina Selatan.
5.6. Tibet yang menegangkan, di masa awal perjalanan saya adalah proses mengalahkan ketakutan, pembuktian diri, penaklukan tantangan.

6.1. Buku harian, itu kuncinya. Tiap hari dalam perjalanan saya mencatat. Ini kemudian jadi harta karun tak terhingga.
6.2. Saat menulis memori keluarga, saya juga mewawancara banyak orang yang terlibat, sebagai verifikasi apa yang saya ingat.
6.3. Di zaman sekarang ada banyak teknologi untuk membantu memori: kamera, smartphone, videocam, dll. Alat bantu no 1 masih kertas + pena.
6.4. Karena kertas dan pena bisa mencatat detail emosi, perasaan, pemikiran kita saat itu. Alat bantu lain tidak bisa.
6.5. Saat membaca ulang oret-oretan saya dibuku harian, saya sering takjub karena banyak hal sebenarnya sudah  hilang di memori saya.
6.6. Memori tidak abadi. Saya mending kehilangan uang daripada kehilangan buku harian di jalan.
6.7. Saat nulis memori Mama, saya banyak terbantu oleh buku harian & surat-surat yang ditulis Mama. Memori paling otentik adalah tulisan.

7.1. Sementara ini masih fokus di non fiksi, jadi penulis perjalanan. Pengen sih belajar fiksi tapi tidak harus jadi penulis fiksi.
7.2. Lagipula memoar itu bukan biografi, bukan perjalanan kita seumur hidup, tapi hanya satu fragmen saja dari perjalanan.
7.3. Kita hidup 30 tahun, 40 tahun, kalo semua pengalaman/kisah hidup ditulis bisa jadi 10 buku kalo bener mau digali.
7.4. Saya menulis memoar melalui travel writing/narasi perjalanan. Kuncinya adalah tetap melakukan perjalanan.

LitBox @literarybox: 8. Sejauh ini, dimana tempat favorit yang pernah @avgustin88 kunjungi dan kenapa?

8.1. Kalo ini, sebenarnya yang favorit bukan masalah tempat, tapi rasa. Tiap tempat menyisakan rasa berbeda.
8.2. Buat saya, pengalaman paling berkesan adalah ketika jadi relawan di daerah bencana, misal di Aceh dan Kashmir.
8.3. Karena di situ saya bertatapan dengan sifat dasar manusia, bagaimana jika harus dihempaskan ke titik terendah dalam hidup.
8.4. Daerah bencana juga mengajarkan saya akan kehangatan kemanusiaan, semangat berbagi, dan semangat bangkit  dari kehancuran.

LitBox @literarybox 9. Berdasarkan pengalaman @avgustin88, apa resep untuk jadi travel (and memoir) writer yang baik?

Agustinus Wibowo @avgustin88:
9.1. Yang pertama adalah keingintahuan yang besar, banyak bertanya terhadap hal-hal yang bahkan kamu kira kamu sudah tahu.
9.2. Berpikir kritis ini adalah yang paling vital. Tanpa pemikiran, memoar dan catatan perjalanan jadi tidak ada artinya.
9.3. Hal lain adalah menghindari generalisasi. Ingat semua orang unik, punya kisah masing-masing, tidak boleh dipukul rata.
9.4. Terutama dalam tulisan travel, generalisasi sangat berbahaya dan memuakkan, menunjukkan  pemikiran yang sempit dari penulisnya.
9.5. Hal berikutnya adalah jujur. Kalo tulisan kamu ada unsur fiksi, sebutlah novel, jangan dilabeli sebagai catatan perjalanan atau memoar.
9.6. Kebohongan dalam tulisan nonfiksi adalah fatal, merusak kredibilitas. Kalo di LN bisa dituntut.
9.7. Catatan perjalanan yang bagus dari interaksi yang bagus, memoar yang bagus dari perenungan yang dalam. Soal teknik itu urusan belakangan.

LitBox @literarybox: 10. Minta rekomendasi 5 buku memoir yang oke menurutmu dong.

Agustinus Wibowo @avgustin88:
10.1. Pastinya Imperium, karya Ryzard Kapuscinski, memoar + travelwriting tentang Uni Soviet.
10.2. Disini Kapuscinski yang orang Polandia memandang masa kecilnya di zaman perang, lalu dia menjelajahi garis batas Soviet.
10.3. Berikut, Tidak Ada Jalan yang Sama karya Yu Hua.
10.4. Yu Hua adalah novelis China. Buku ini adalah kumpulan tulisan buku harian, dimulai dari kelahiran anak lelakinya.
10.5. Dia menulis perjalanan hidup dirinya, diparalelkan dengan anaknya yang bertumbuh dari bayi jadi dewasa.
10.6. Baghdad without A Map karya Tony Horwitz. Kisah perjalanan jurnalis US berdarah Yahudi di negara-negara Timur Tengah.
10.7. From Beirut to Jerusalem, Thomas Friedman, kisah jurnalis di medan perang Timur Tengah. Evocative banget.
10.9. Even Silence Has an End, Ingrid Betancourt. Kisah capres perempuan Columbia yang ditulis pemberontak, 6 tahun di hutan.

Agustinus Wibowo @avgustin88:
@literarybox dan semoga teman-teman terinspirasi nulis memoar. You don’t need to be somebody to write a memoar, coz everybody has unique story.

Horeeee... Terimakasih telah berbagi Koh Agustinus Wibowo dan Literary Box.
Terimakasih... Namaste _/l\_

Translate

About Me

Foto Saya
Guruntala
🌹A dam mast qalandar. #BlessingsClinic 🌹Give some workshops: Meridian Face & Body Massage, Aromatherapy Massage with Essential Oils, Make up. 🌹Selling my blendid Face Serum. IG & twitter: @guruntala
Lihat profil lengkapku

Followers

Komentar Terbaru

Visitors

free counters