Kamis, 14 Maret 2013
Melihat Langit Tak Berbingkai
10.20 |
Diposting oleh
Guruntala |
Edit Entri
Banyak pelajaran yang bisadipetik dari twitter, terutama dari twitwar.
Yang menarik adalah twitwar dari pihak JIL (Jaringan Islam Liberal) dengan
pihak anti JIL. Mau berdebat selama satu hari, satu minggu, satu bulan, hingga bertahun-tahun
tidak akan mencapai kata sepakat bila kedua belak pihak tetap pada bingkai
pemikiran masing-masing. Sulit untuk keluar dari bingkai pemikiran kita,
apalagi bila kita merasa benar...
Tidak ada satu pihak yang sepenuhnya putih, tidak ada pihak
yang sepenuhnya hitam. Yang membedakan mungkin pada pihak mana kita berada.
Apakah kita berada pada pihak yang mementingkan diri /golongan kita (Pihak
Kurawa), atau kita berada pada pihak dengan kepentingan yang lebih luas (Pihak
Pandawa).
Pihak Kurawa tidak sepenuhnya bersifat iblis, sementara Pihak
Pandawa tidak sepenuhnya bersifat malaikat. Dimana mereka berpihak, itulah yang
menentukan posisi mereka, memperjuangkan kemuliaan atau kenyamanan pribadi.
Saya suka dengan dengan istilah “jalan ke surga bagaikan
meniti sehelai rambut dibelah tujuh”. Btw, itu hadist atau hikmah para sufi ya?
Jalan menuju kemuliaan tidak mudah, bagaikan meniti sehelai
rambut dibelah tujuh karena susahnya...
Seorang teman istri seorang penegak hukum berbicara untuk
menenangkan hati nuraninya, “Suamiku tidak pernah meminta-minta lho. Bila
diberi, ya diterima.”
Penegak hukum yang benar adalah penegak hukum seperti Kapolri
Hoegeng atau Jaksa Agung Baharuddin Lopa. Mereka tidak mau menerima pemberian
dari pihak yang “ada maunya”. Sulit untuk bertindak adil pada pihak yang sudah
memberi harta atau jasa pada kita. Kapolri Hoegeng benar, karena dia menjunjung
tinggi keadilan, menjunjung tinggi kepentingan masyarakat banyak. Bila dia
menerima “pemberian” maka dia mementingkan kenyamanan diri dan keluarga. Pihak
yng menerima “pemberian” atau suap pastilah tidak benar,walau sering berkelit dengan
1001 dalil.
“Apa tujuan anda menuntut?” Tina Talissa dari TV One
bertanya. “Agar Ashram tutup” jawab Tara Pradipta Laksmi. Pihak Tara
biasanya berkata pada media bahwa alasan
mereka menuntut Anand Krishna agar tidak terjadi lagi pelecehan seperti yang
terjadi pada Tara. Bagus sekali alasannya. Namun Tara keceplosan saat
diwawancara TV One. Tujuan dia menuntut Anand Krishna bukan untuk menegakkan
keadilan tapi agar Anand Ashram tutup.
See ? Manusiawi sekali alasan Tara. Begitulah sifat rata-rata
manusia. Kita mau ashram hebat bila kita merupakan bagian dari ashram. Bila
kita meninggalkan ashram, kita mau ashram tutup. Intinya adalah iri dan ego
yang merupakan sifat yang perlu dilawan seumur hidup.
Pihak yang salah adalah pihak yang menuntut demi kepuasan
ego, demi dendam, demi kepentingan pribadi. Pihak yang benar adalah pihak yang
berjuang demi tegaknya keadilan.
Membaca buku-buku sastra atau novel yang bagus membantu kita
memahami karakter manusia. Buku sastra membantu kita agar lebih bijak, bisa
melihat lebih luas dari bingkai pemikiran kita.
Saya pernah baca pertanyaan di twitter ,”Dapatkah memberi rekomendasi karya sastra atau novel yang
memukau, yang ditulis oleh penulis berusia di bawah 30 tahun?” Saya tidak bisa menjawab. Novel-novel atau
karya sastra favorit saya ditulis oleh penulis-penulis yang berusia di atas 30
tahun, yang sudah mengalami pahit manisnya hidup.
Buku yang menyentuh saya antara lain “Pulang” dan “9 dari Nadira”
tulisan Leila S. Chudori. Saya
terpana dengan karakter-karakter yang ada di novel-novel tersebut. Tanpa
pengalaman hidup, tanpa kematangan ,seorang Leila S. Chudori tak bisa menulis
buku sebagus “Pulang” dan “9 dari Nadira”.
Hidup tidak semata hitam putih. Seorang manusia bisa
memunculkan sifat iblis dalam diri. Begitu yang saya pelajari dari novel atau
karya sastra. Manusia sering terperangkap dengan bingkai pemikiran sendiri.
Misalnya, orang yang bersaudara akan saling menyayangi. Tak mungkin seorang
wanita yang mengaku dilecehkan itu berbohong. Seorang ibu pasti ingin yang
terbaik untuk anaknya. Seorang anak terlahir suci tak bernoda.
Ya, umumnya demikian. Namun tidak selalu seperti itu. Hidup
ini kompleks dan penuh kejutan. Pada novel “9 dari Nadira” ada karakter Yu Nina
yang iri pada adiknya Nadira. Nina iri karena orang tuanya bangga akan prestasi
Nadira sebagai penulis cerita anak. Nina sebenarnya anak manis. Namun iri
membuat dia bisa membenamkan kepala adiknya di lubang toilet yang penuh air
seni. Iri bisa membuat Nina meledakkan lemari adiknya yang berisi bingkai
tulisan-tulisan yang dimuat di majalah. Iri seorang Nina bisa membuat adiknya Nadira
trauma seumur hidup. Bila menghadapi satu masalah, Nadira akan menceburkan
kepalanya ke dalam bak mandi.
Novel “We Need to Talk
About Kevin” karya Lionel Shriver
mengambarkan tokoh dengan karakter yang tidak biasa. Kevin lahir bukan sebagai
anak yang polos suci. Dia punya watak yang sulit. Ibunya sungguh kesulitan
menghadapi Kevin. Kevin bisa menuduh guru teaternya melecehkan dia secara
seksual. Kevin menyatakan dirinya dikunci sebelum dilecehkan. “Pengakuan” Kevin
dilanjutkan dengan “pengakuan” Lenny temannya yang begitu konyol sehingga tak
masuk akal.
“Tega-teganya Kevin mendiskreditkan Ibu Pagorsky. Ia bisa
kehilangan pekerjaannya. Franklin, aku sudah mengecek, pintu kelas itu tidak
bisa dikunci dari dalam, ”Ibu Kevin berkata pada suaminya.
Seminggu kemudian Ibu Pagorsky dibebastugaskan dari mengajar.
Mengapa Ibu Pagorsky dibebastugaskan dari mengajar padahal
pengakuan Kevin tak masuk akal? Karena stigma yang biasa berlaku. Bahwa anak
tidak mungkin berbohong. Padahal Kevin seorang anak yang licik dan bisa
berbohong.
Demikian...
Semoga kita semua bisa melihat lebih luas daripada bingkai
pemikiran kita.
Terimakasih... Namaste _/l\_
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Translate
About Me
- Guruntala
- 🌹A dam mast qalandar. #BlessingsClinic 🌹Give some workshops: Meridian Face & Body Massage, Aromatherapy Massage with Essential Oils, Make up. 🌹Selling my blendid Face Serum. IG & twitter: @guruntala
0 komentar:
Posting Komentar