Minggu, 29 Desember 2013
Bangun Trisna
13.12 |
Diposting oleh
Guruntala |
Edit Entri
Bangun trisna adalah ungkapan
orang Jawa tentang perasaan cinta. Bukan ”fall in love” atau “jatuh cinta” tapi
“bangkit cinta”. Indah sekali, cinta seharusnya membangkitkan kita, bukan
membuat kita terjebak dalam keterikatan.
Bangun trisna: Love should be
awakening us...
Beberapa teman saya adalah istri
yang dikekang suami dengan banyak aturan. Aturan memang perlu, bukan untuk
istri saja tapi untuk suami juga. Misalnya menjaga diri agar tetap berada di
“jalur yang benar”. Seseorang harus menjaga pergaulan. Benar kan ya. Bila
berteman dengan seorang penipu bukankah kita akan ikut-ikutan menjadi seorang
penipu juga?
Selama ini saya kurang memakai
intelegensia saya. Ketika masih muda, saya berpikir bila kita mencintai suami
maka kita harus mengikuti kehendak suami. Ternyata salah besar. Bagaimana bila
suami kita punya masalah sendiri, punya obsesi besar, kurang perhatian, bahkan
posesif, cenderung menekan istri? Istri
jadi tertekan, tidak berkembang
potensinya.
“Aku bertanggung jawab penuh atas
hidupku ini”. Ini merupakan afirmasi pertama dalam latihan Kundalini Yoga. Afirmasi ini sangat powerful. Saya, dengan segala
kebodohan saya, pernah percaya bahwa suami berniat membahagiakan saya. Bodoh
sekali. Ternyata suami dan obsesinya bukan saja “tidak membahagiakan” saya tapi
membuat saya tercabut dari rasa aman.
Pelajaran terpenting dari
perkawinan saya adalah “saya bertanggung jawab penuh atas kehidupan saya
sendiri, pada kebahagiaan saya sendiri”.
Suami, sebagaimana manusia
umumnya, bisa manipulatif, bisa berbohong untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka
bisa berkata manis, “Saya melakukan ini untuk membahagiakanmu.”
Saya jadi panas membaca kultwit Fahri Hamzah @Fahrihamzah tentang
mengapa Anaway, istri Anis Matta,
lapang dada menerima Szilvia untuk menjadi istri kedua Anis Matta dan tinggal serumah
dengannya. Apakah cinta Anis Matta membuat Anaway bangun trisna, bangkit kebahagiaannya?
Mungkin Anaway punya hati seluas
samudra. Mungkin. Namun apa yang bisa dilakukan seorang istri dengan 7 anak
ketika suami mau beristri lagi? Mau minta cerai? Tentu istri akan berpikir
tentang sekolah dan kepentingan 7 anaknya. Lagipula karena kesibukan dalam mengurus
7 anak, istri tidak sempat mengasah diri memperdalam skill dan knowledge nya.
Bagaimana dia harus menanggung biaya hidup dan pendidikan 7 anak bila dia
menjanda?
Mungkin mantan suami tetap
bertanggung jawab dalam memberi nafkah pada anak-anaknya. Namun tentu saja tidak
ada jaminan. Banyak istri yang memutuskan untuk tetap menanggung beban perasaan
sebagai istri yang dimadu karena kepentingan anak-anak.
Saya heran dengan orang-orang
partainya Anis Matta ini. Mereka senang mempunyai anak banyak. Jadi ingat “Inferno” Dan Brown. Bila ledakan penduduk tidak dapat dikendalikan, bumi ini
akan menjadi neraka. Sebagian penduduk bumi akan mati karena memperebutkan air
dan makanan untuk survive.
Orang bisa pintar secara
intelektual. Mereka bisa menjadi sarjana, master atau doktor. Namun bila tidak
menggunakan intelegensia maka mereka tidak bisa memikirkan kepentingan yang
lebih luas dari kepentingan diri sendiri dan kelompok.
Mungkin satu pasangan sanggup membiayai
hidup dengan anak 10, anak 12, anak 9. Namun bagaimana dengan daya tampung
bumi? Lagipula pada masa sekarang ini, sulit untuk survive dengan anak yang terlalu banyak. Bagaimana bila si bapak
kena phk, jobless? Bagaimana dengan
biaya hidup dan biaya pendidikan banyak anak itu?
Bangun trisna...Love should be
awakening us...
Apakah pernikahan dengan
seseorang membuat kita bangkit? Bangkit segala potensi baik dalam diri kita
sehingga kita bisa membahagiakan diri kita dan bisa berbagi kebahagiaan dengan
orang lain? Bila itu terjadi maka kita memang benar-benar bangun trisna.
Semoga kita semua dalam keadaan bangun
trisna. Amin.
Terimakasih... Namaste _/l\_
Label:
Awareness
|
0
komentar
Kamis, 05 Desember 2013
Review Film : Sagarmatha
09.03 |
Diposting oleh
Guruntala |
Edit Entri
Ternyata film Sagarmatha tidak
lama ditayangkan di bioskop. Sayang sekali. Padahal film ini keren banget.
Ceritanya kereen! Sepertinya perlu beli DVD film ini.
Film ini berkisah tentang dua
sahabat, Shilla dan Kirana, yang setahun lalu pernah berjanji untuk mendaki
hingga puncak tertinggi pegunungan Himalaya, Mount Everest. Sagarmatha adalah
bahasa Nepal untuk Mount Everest.
Ternyata perjalanan ini juga merupakan
perjalanan batin dua sahabat karib ini.
Kirana berpendapat bahwa seorang
wanita harus berjuang untuk mencapai puncak prestasi tertinggi dalam hidup.
Jangan sampai cita-cita itu terganggu dengan tetek bengek mengurus suami dan
anak-anak.
Kirana menyemangati Shilla agar
menggapai cita-cita untuk menjadi penulis yang hebat. Sementara Shilla selalu
membayangkan rumah hangat, yang isinya adalah Shilla, suami, anak dan cucu.
Dalam pendakian ke Sagarmatha
ini, Shilla mempertimbangkan apa yang benar-benar diinginkannya. Mencapai
prestasi puncak untuk diri pribadi atau membangun rumah tangga yang tentunya
sedikit menghambat ambisi pribadi.
Menarik untuk dipikirkan para
wanita muda ya *wohoooo...
Yang saya sukai dalam menonton
film adalah menikmati kota latar belakang cerita. Di film ini kita melihat
Kolkata yang kumuh dari dekat. Melihat bagaimana pemandangan dari kereta api
dari India menuju Nepal. Trus melihat Potala. Melihat kehidupan masyarakatnya.
Tampaknya kota Nepal dan Potala kota yang sederhana ya. Beda dengan Indonesia
yang megah walau harta bangsa ini sudah digadaikan.
Sukaaa banget melihat pemandangan
saat Shilla dan Kirana mendaki. Subhanallah... Indahnya Himalaya... Indahnya ibu
bumi...
Dan saya setuju dengan tagline
Kirana: “Pada akhirnya setiap orang harus sendiri”.
Ya, setiap orang harus sendiri.
Ada suami atau tidak bersuami, tanpa anak atau beranak banyak, tanpa keluarga
atau dikelilingi keluarga, pada akhirnya manusia itu harus sendiri, harus
menempuh perjalanan sendiri-sendiri.
Jadi terharu banget menonton film
ini. Sangat terkesan.
Terimakasih... Namaste _/l\_
Review Film: The Counselor
08.18 |
Diposting oleh
Guruntala |
Edit Entri
Jadi tertarik nonton “The
Counselor” setelah melihat poster filmnya. Ada Cameron Diaz, Brad Pitt,
Penelope Cruz. Sepertinya menarik...
Ternyata film “The Counselor” ini
tentang perdagangan narkoba yang sadis banget. Sampe beberapa kali tutup mata
karena tidak tahan nonton kesadisannya.
Yang menarik adalah kematangan Cameron Diaz. Wanita matang, sexy, unpredictable...
Si tokoh bernama Counselor ini
tampaknya pintar tapi ternyata sangat bodoh. Dia tidak menyadari betapa
kejamnya dunia mafia narkoba hingga calon istri yang sangat dicintainya
diculik, dan nyawanya sendiri terancam hingga hidupnya hancur.
Jadi mikir... Selama ini saya
pikir hidup saya tenang. Ternyata saya kurang membuka mata. Hingga saya
menyaksikan sendiri bagaimana seorang guru spiritual yang tidak bersalah secara
sistematis dijebloskan ke dalam penjara. Ternyata mafia hukum itu ada juga di
Indonesia.
Sering saya baca di koran tentang
pengedar narkoba yang tertangkap. Ternyata banyak juga pecandu narkoba. Dan pastinya
ada mafia narkoba di Indonesia. Hanya saya kurang menyadari saja.
Baca deh http://www.thrivemovement.com/ Ternyata banyak mafia di dunia ini.
Antara lain mafia di industri farmasi.
Banyak sekali kekejaman di
sekitar kita. Banyak mafia di sekitar kita. Bermula dari nafsu dan keserakahan.
Akhirnya mengeksploitasi pihak lain, tega melakukan kekejaman yang luar biasa.
Mari menjadi kuat. Kuat agar
tidak dikuasai hawa nafsu, juga kuat agar tidak dikuasai mafia yang serakah dan
kejam. Amiin
TerimaKasih...Namaste _/l\_
Sabtu, 16 November 2013
Karlina Supelli
00.27 |
Diposting oleh
Guruntala |
Edit Entri
Foto dari DewiMagazine.com |
Senang mendengar pidato
kebudayaan yang dilaksanakan setahun sekali oleh Dewan Kesenian Jakarta untuk
tahun ini diisi oleh Ibu Dr. Karlina Supelli.
Saya mengenal Karlina Supelli
sejak zaman SMA saya. Saat itu Karlina banyak diliput oleh media massa karena
prestasinya sebagai mahasiswi pertama lulusan Astronomi ITB, dan mendapat predikat
cumlaude pula.
Saya sampai mendaftar ke jurusan
Astronomi ITB karena ngefans sama Karlina.
Wkkkkkk...syukur tak lulus. Bisa puyeng kepala saya berurusan dengan matematika
dan fisika tingkat tinggi. Mana tahaaaan wkwkwk.
Saya juga rajin mengkliping
tulisan Karlina di Kompas, rajin mengkliping majalah yang memuat wawancara
dengan Karlina. Gitu deh saya kalo lagi ngefans.
Lucu juga mengingat saya sampai merenungkan tulisan-tulisan Karlina di Kompas,
padahal mana mudeng saya dengan
filsafat. Sekarang saya bisa ngikik guling-guling mengenang hal ini, namun dulu
saya serius banget loh merenungkan tulisan Karlina di Kompas.
Ketika ada peringatan Hari Kartini
di Institut Teknologi 10 November tahun 80an, ada questioner yang antara lain menanyakan “siapa wanita idola anda”.
Tak ragu lagi saya tulis, La Rose dan Karlina Supelli. Wkkkk... jadi geli. Mana
sangka saya sekarang suka menulis juga seperti
La Rose, dan suka filsafat juga seperti Karlina. Walau tentu saja filsafat yang
saya suka adalah filsafat yang ringan-ringan. Saya suka baca tentang simbol.
Saya suka baca buku Dan Brown karena
menyangkut simbol. Haiah...ngomong apa sih saya ini, dari mana hingga kemana
wkkkkkk...
Beruntung pada pameran buku
November 2013 di Istora Jakarta saya menemukan buku “Dari Kosmologi ke Dialog, Mengenal Batas Pengetahuan, Menentang
Fanatisme” karya Karlina Supelli. Saya pernah membaca wawancara Karlina
Supelli dengan Kompas tentang bagaimana buku ini ditulis.
Hidup terlalu berharga sehingga
harus diperjuangkan, Karlina pun bangkit menulis buku dalam keadaan sakit.
Syukurlah, Karlina sembuh dari kanker. Saya baca Karlina terkena kanker pada 6
bulan setelah saudara soulmate nya, Alex
Supelli, meninggal karena kecelakaan pesawat. Biasanya duka mendalam bisa
mencetus kanker...
Saya mengikuti tulisan Karlina di
Majalah Pesona walau kadang saya tak mengerti. Filsafat tingkat tinggi boo. Dan
saya pernah bertemu muka dengan Karlina saat Karlina menjadi pembicara pada
acara Happy Saturday yang diselenggarakan oleh Majalah Pesona.
Beruntung ya saya... Saya sudah bertemu
dengan penulis-penulis idola saya, mulai dari Almarhumah La Rose, Karlina, Cak
Nun, Anand Krishna, Alberthiene Endah, Dee Lestari, Raditya Dika dll. Pamer
booo wkkkkk
Bahkan saya tahu gosip tentang
Ibu Karlina. Saudara saya yang mengenal Karlina di ITB bercerita, “Saya tidak
sangka Karlina bisa berpisah dengan Ninok Leksono mengingat bagaimana Ninok
dulu menguber-nguber Karlina. Mas kawin untuk Karlina saat menikah adalah pembacaan
Asmaul Husna oleh Ninok Leksono. Sungguh menyentuh hati.”
Begitulah. Jalan hidup kita tidak
tahu. Perjalanan cinta, berapa lama seseorang terikat dalam ikatan suami istri
tidak lepas dari utang piutang karma atau takdir.
Yang pasti, Karlina Supelli adalah
salah satu wanita idola saya...
TerimaKasih... Namaste _/l\_
Label:
Profil
|
1 komentar
Jumat, 15 November 2013
Cara Asyik Menulis Memoar / Travel Writing a la Agustinus Wibowo
18.36 |
Diposting oleh
Guruntala |
Edit Entri
Menarik membaca perbincangan LitBox @literarybox dengan Agustinus Wibowo @avgustin88 tentang
menulis memoir pada tanggal 15 November 2013 di twitter;p
Agustinus Wibowo adalah salah
satu penulis favorit saya. Rugi deh bila melewatkan buku-bukunya: Garis Batas, Selimut Debu, dan Titik Nol.
Berikut perbincangan LitBox
dengan Agustinus Wibowo :
LitBox @literarybox:
Apa alasan utama @avgustin88 menulis memoir? #WOTWQA
Agustinus Wibowo @avgustin88 :
1.1. Menulis memoir karena saya
sadar memori itu tidak abadi, suatu saat pasti akan pudar dan mati, terkubur
bersama pemiliknya.
1.2. Sebelum menulis, saya
dibebani begitu banyak memori yang campur aduk, rasanya sangat menyiksa.
1.3. Memori yang campur aduk itu
pun bagai masa lalu yang campur aduk, saya jadi penasaran apa makna hidup saya
selama ini.
1.4. Memoar buat saya juga adalah
perjalanan spiritual untuk menjawab berbagai pertanyaan filosofis dalam hidup,
dan bikin saya tetap hidup.
1.5. Memoar terbaru saya tulis
sebagai terapi psikologis, untuk membebaskan diri dari depresi karena kehilangan
orang yang paling saya cintai.
LitBox @literarybox: 2. Memulis memoir = menuliskan hidup @avgustin88
untuk dibaca banyak orang. Apa saja pertimbangan Mas Agus sebelum
menuliskannya?
Agustinus Wibowo @avgustin88:
2.1. Pertimbangan pertama adalah
alasan personal, untuk pribadi saya sendiri. mengabadikan memori dan menjawab
misteri hidup.
2.2. Dengan menulis memoar, masa
lalu yang berantakan itu ditata ulang, seperti puzzle, sehingga menjadi
berwujud nyata.
2.3. Menulis memoar juga
menyadarkan saya bahwa perjalanan hidup yang telah saya lewati adalah hidup
yang layak dijalani.
2.4. Dengan menulis memoar, saya
bisa semakin menghargai hidup, menghargai masa lalu, masa kini, dan impian masa
depan.
2.5. Alasan kedua, adalah
berbagi. Supaya pembaca bisa mendapat hikmah dari perjalanan saya tanpa harus
menjalani hidup saya.
2.6. Pertanyaan paling penting
dalam menulis memoar adalah “How far would you go?”, “Sejauh mana bisa kau
bagikan hidupmu untuk publik?”
2.7. Kurang detail bisa
menjadikan memoar kering, tidak nyata. Terlalu detail malah bikin boring dan ga penting.
2.8. Tantangan memoar adalah
bagaimana merangkum hidup dalam space
yang terbatas. Pembaca juga tak perlu& tidak ingin tahu semua hal.
2.9. Semakin dirangkum, yang kita
dapatkan adalah hal-hal yang paling esensial dari hidup kita. Kadang kita gak
dapatkan ini kalau bukan untuk berbagi.
LitBox @literarybox: Apakah semua pengalaman yang ditulis @avgustin88
itu nyata, atau untuk alasan tertentu ada yang “diperhalus/disamarkan”?
Agustinus Wibowo @avgustin88:
3.1. Memoar adalah karya non
fiksi, jadi semua harus realita, tidak boleh menciptakan realita.
3.2. Memoar yang ada unsur fiksinya,walaupun
sedikit, sudah bukan memoar, harus dilabeli sebagai novel/fiksi.
3.3 Intinya adalah penulis memoar
harus berusaha semaksimal mungkin setia pada kebenaran memorinya, walaupun
memori takselalu benar.
3.4. Memoar juga tidak berarti
semua hal harus dituliskan, bisa dipilah, bisa dikurangi detail untuk hal-hal
tertentu dsb.
3.5. Banyak pertimbangan untuk
menentukan mana yang harus ditulis, mana yang dihapus, tokoh mana yang harus
dijaga privasinya.
3.6. Beberapa tokoh saya juga
menggunakan nama/identitas samaran, demi melindungi privasi mereka. Dalam
memoar tak masalah.
LitBox @literarybox: 4. Banyak yang suka dan terharu dengan kisah Mama
di Titik Nol, @avgustin88. What drive did you have at that time to write &
share it in ur book?
Agustinus Wibowo @avgustin88:
4.1. Di saat-saat terakhir, baru
saya menyadari kisah Mama ternyata
adalah bagian penting dalam perjalanan saya.
4.2. Perjalanan untuk kebanyakan
orang adalah tentang pergi. Tapi pertemuan dengan Mama saat beliau sakit
menyadarkan saya perjalanan adalah untuk pulang.
4.3. Saat-saat menemani orang tua
yang hendak meninggal adalah saat-saat paling berat sekaligus paling
membahagiakan.
4.4. Setelah perjalanan jauh dan
pulang untuk melihat rumah/keluarga, saya belajar melihat dari sisi yang
berbeda.
4.5. Kita biasa take-for-granted
rumah/keluarga, padahal begitu banyak hak yang tidak kita ketahui tentang
rumah/keluarga kita sendiri.
4.6. Pada saat ini saya baru
mengenal masa kecil mama, mimpinya, cintanya, cemburunya, marahnya, rahasianya,
kebahagiaannya dll
4.7. Sosok ibu yang dulu
saya kira sudah saya kenal dekat, ternyata masih begitu
asing. Saya beruntung masih punya sedikit kesempatan mengenal beliau.
4.8. Hikmah inilah yang ingin
saya bagikan untuk pembaca. Perjalanan bukan hanya tentang tempat jauh,
perjalanan bisa di rumahmu sendiri.
LitBix @literarybox: 5. Ceritain pengalamannya nyamar jadi penduduk
Cina supaya bisa masuk ke Tibet dong, @avgustin88. Buat ngejar story?
Agustinus Wibowo @avgustin88:
5.1. Bukan buat ngejar story,
tapi terpaksa menyelundup ke Tibet karena aturan yang anti pengunjung asing.
5.2. Jadi orang asing yang ke
Tibet harus pake guide dan penerjemah, urus permit yang mahal, sewa mobil dsb.
Saya tak ada dana itu.
5.3. Dan saya tidak suka
perjalanan yang didikte, saya suka petualangan saya sendiri, jadi saya pilih
menyelundup.
5.4. Menyamar jadi warga Cina.
Paling takut kalo ada pos milisi/militer karena bisa dihukum/dideportasi .
Pernah hampir ketangkap.
5.5. Untunglah karena faktor
wajah dan bahasa, saya masih bisa selamat dengan menyamar sebagai warga Cina
Selatan.
5.6. Tibet yang menegangkan, di
masa awal perjalanan saya adalah proses mengalahkan ketakutan, pembuktian diri,
penaklukan tantangan.
6.1. Buku harian, itu kuncinya.
Tiap hari dalam perjalanan saya mencatat. Ini kemudian jadi harta karun tak
terhingga.
6.2. Saat menulis memori
keluarga, saya juga mewawancara banyak orang yang terlibat, sebagai verifikasi
apa yang saya ingat.
6.3. Di zaman sekarang ada banyak
teknologi untuk membantu memori: kamera, smartphone, videocam, dll. Alat bantu
no 1 masih kertas + pena.
6.4. Karena kertas dan pena bisa
mencatat detail emosi, perasaan, pemikiran kita saat itu. Alat bantu lain tidak
bisa.
6.5. Saat membaca ulang
oret-oretan saya dibuku harian, saya sering takjub karena banyak hal sebenarnya
sudah hilang di memori saya.
6.6. Memori tidak abadi. Saya
mending kehilangan uang daripada kehilangan buku harian di jalan.
6.7. Saat nulis memori Mama, saya
banyak terbantu oleh buku harian & surat-surat yang ditulis Mama. Memori
paling otentik adalah tulisan.
7.1. Sementara ini masih fokus di
non fiksi, jadi penulis perjalanan. Pengen sih belajar fiksi tapi tidak harus
jadi penulis fiksi.
7.2. Lagipula memoar itu bukan
biografi, bukan perjalanan kita seumur hidup, tapi hanya satu fragmen saja dari
perjalanan.
7.3. Kita hidup 30 tahun, 40
tahun, kalo semua pengalaman/kisah hidup ditulis bisa jadi 10 buku kalo bener
mau digali.
7.4. Saya menulis memoar melalui
travel writing/narasi perjalanan. Kuncinya adalah tetap melakukan perjalanan.
LitBox @literarybox: 8. Sejauh ini, dimana tempat favorit yang pernah
@avgustin88 kunjungi dan kenapa?
8.1. Kalo ini, sebenarnya yang
favorit bukan masalah tempat, tapi rasa. Tiap tempat menyisakan rasa berbeda.
8.2. Buat saya, pengalaman paling
berkesan adalah ketika jadi relawan di daerah bencana, misal di Aceh dan
Kashmir.
8.3. Karena di situ saya
bertatapan dengan sifat dasar manusia, bagaimana jika harus dihempaskan ke
titik terendah dalam hidup.
8.4. Daerah bencana juga
mengajarkan saya akan kehangatan kemanusiaan, semangat berbagi, dan semangat
bangkit dari kehancuran.
LitBox @literarybox 9. Berdasarkan pengalaman @avgustin88, apa resep
untuk jadi travel (and memoir) writer yang baik?
Agustinus Wibowo @avgustin88:
9.1. Yang pertama adalah
keingintahuan yang besar, banyak bertanya terhadap hal-hal yang bahkan kamu
kira kamu sudah tahu.
9.2. Berpikir kritis ini adalah
yang paling vital. Tanpa pemikiran, memoar dan catatan perjalanan jadi tidak
ada artinya.
9.3. Hal lain adalah menghindari
generalisasi. Ingat semua orang unik, punya kisah masing-masing, tidak boleh
dipukul rata.
9.4. Terutama dalam tulisan
travel, generalisasi sangat berbahaya dan memuakkan, menunjukkan pemikiran yang sempit dari penulisnya.
9.5. Hal berikutnya adalah jujur.
Kalo tulisan kamu ada unsur fiksi, sebutlah novel, jangan dilabeli sebagai
catatan perjalanan atau memoar.
9.6. Kebohongan dalam tulisan
nonfiksi adalah fatal, merusak kredibilitas. Kalo di LN bisa dituntut.
9.7. Catatan perjalanan yang
bagus dari interaksi yang bagus, memoar yang bagus dari perenungan yang dalam.
Soal teknik itu urusan belakangan.
LitBox @literarybox: 10. Minta rekomendasi 5 buku memoir yang oke
menurutmu dong.
Agustinus Wibowo @avgustin88:
10.1. Pastinya Imperium, karya Ryzard Kapuscinski, memoar + travelwriting tentang Uni Soviet.
10.2. Disini Kapuscinski yang
orang Polandia memandang masa kecilnya di zaman perang, lalu dia menjelajahi
garis batas Soviet.
10.3. Berikut, Tidak Ada Jalan yang Sama karya Yu Hua.
10.4. Yu Hua adalah novelis
China. Buku ini adalah kumpulan tulisan buku harian, dimulai dari kelahiran
anak lelakinya.
10.5. Dia menulis perjalanan
hidup dirinya, diparalelkan dengan anaknya yang bertumbuh dari bayi jadi
dewasa.
10.6. Baghdad without A Map karya Tony
Horwitz. Kisah perjalanan jurnalis US berdarah Yahudi di negara-negara
Timur Tengah.
10.7. From Beirut to Jerusalem, Thomas Friedman, kisah jurnalis di medan
perang Timur Tengah. Evocative banget.
10.9. Even Silence Has an End, Ingrid Betancourt. Kisah capres perempuan
Columbia yang ditulis pemberontak, 6 tahun di hutan.
Agustinus Wibowo @avgustin88:
@literarybox dan semoga
teman-teman terinspirasi nulis memoar. You
don’t need to be somebody to write a memoar, coz everybody has unique story.
Horeeee... Terimakasih telah
berbagi Koh Agustinus Wibowo dan Literary Box.
Terimakasih... Namaste _/l\_
Langganan:
Postingan (Atom)
Translate
About Me
- Guruntala
- 🌹A dam mast qalandar. #BlessingsClinic 🌹Give some workshops: Meridian Face & Body Massage, Aromatherapy Massage with Essential Oils, Make up. 🌹Selling my blendid Face Serum. IG & twitter: @guruntala