Rabu, 11 April 2012

Finding Rumi


       Membaca buku Finding Rumi karya Najmar adalah mengikuti perjalanan spiritual Najmar yang sedang napak tilas perjalanan spiritual Sufi Besar Rumi di negeri asal Rumi, Turki.

       Menarik pertemuan Najmar dengan Master (Syaikh) Tarekat Rifai pada halaman 241. Berikut kutipan percakapan Najmar dengan Master:

Master: “Ah, aku jadi tahu Indonesia itu seperti apa. Dari kamu saja aku sudah bisa melihat, seperti apa negerimu itu.”

Ketika negeriku disebut sontak aku tak terima.
Najmar: “Wah, Anda tidak bisa menilai negeri saya hanya lewat saya dong. Di Indonesia banyak orang-orang pintar. Yang ada di hadapan Anda sekarang hanyalah orang Indonesia yang bodoh dan nakal. Cobalah datang sendiri ke Indonesia dan rasakanlah sendiri Indonesia.”

“Ah! Itulah mengapa kamu Jabal Ibrahim dan Jabal Toriq, “kata Master mengingatkan pada mimpi yang kuceritakan padanya minggu lalu, “karena kamu tidak punya Syaikh.” Ia kemudian menjelaskan.

      “Orang tidak pernah tahu level nafs- nya sendiri, karena kalau ia tahu ia akan merasa sombong dan merendahkan orang lain, dan itu berbahaya karena bisa menurunkan levelnya. Hanya Syaikh pembimbing yang bisa mengetahui tingkat nafs  murid-muridnya dan membantunya agar mampu mencapai level berikutnya, “jelas Master.

      Kalau kamu bilang gurumu banyak, bagaimana bisa? Karena setiap guru akan berbicara tentang kebenaran sesuai dengan level nafs-nya masing-masing. Apa kamu tidak akan bingung? Dan jika kamu berguru pada orang yang levelnya rendah dari kamu, haram hukumnya. Kamu mengerti itu?”
Aku diam, menunggu apa lagi yang akan ia katakan.


      “Pada level tertinggi sudah tak ada lagi agama, bagaimana menurutmu?” Aku tak menjawab. Ia menekankan lagi pernyataannya, “TAK ADA LAGI AGAMA!!” katanya sambil menatapku tajam.

      Aku tertawa melihat wajahnya. “Iya, kalau tak ada lagi agama, lalu apa masalahnya?” jawabku enteng.

      Master terlihat agak kaget sebelum akhirnya berkomentar, “Hah! Kamu tertawa karena kamu melihatku apa adanya.”

      Sebenarnya aku tertawa karena pernyataan itu tak lagi mengusikku. Sehingga aku tak kaget dan bingung mendengarnya. Ketika dualitas terlampaui maka semua sekat menjadi luntur termasuk sekat agama, sehingga yang terlihat kemudian hanyalah keesaan Tuhan. Inilah yang kupahami dari puisi Maulana:

Apa yang mesti kulakukan, O Muslim? Aku tak
        mengenal diriku sendiri.
Aku bukan Kristen, bukan Yahudi, bukan Gabar,
       bukan Muslim.
Aku bukan dari Timur, bukan dari Barat, bukan
       dari darat, bukan dari laut;
Aku bukan dari alam, bukan dari langit berputar.
Aku bukan dari tanah, bukan dari air, bukan dari
       udara, bukan dari api;
Aku bukan dari cahaya, bukan dari debu, bukan
       wujud dan bukan hal.
Aku bukan dari India, bukan dari Cina, bukan dari
      Bulgaria, bukan dari Saqsin;
Aku bukan dari kerajaan Irak, bukan dari negeri
      Korazan.
Aku bukan dari dunia ini, atau dari akhirat, bukan
       dari surga atau neraka;
Aku bukan dari Adam, bukan dari Hawa, bukan
      dari Firdaus, bukan dari Rizwan.
Tempatku adalah Tanpa-Tempat, jejakku adalah
      tak berjejak;
Ini bukan raga dan bukan jiwa, sebab aku milik jiwa
      kekasih.
Telah kubuang anggapan ganda, kulihat dua dunia
      ini esa;
Esa yang kucari, Esa yang kutahu, Esa yang kulihat,
       Esa yang kupanggil.
Ia yang pertama, Ia yang terakhir, Ia yang lahir, Ia
       Yang batin;
Tak ada yang kuketahui kecuali “Ya Hu” dan “Ya
      man Hu”.
Aku mabuk oleh piala Cinta, dua dunia lewat tanpa
      kutahu;
Aku tak berbuat apa pun kecuali mabuk gila-gilaan.
Kalau sekali saja aku semenit tanpa kau,
Saat itu aku pasti menyesali hidupku.
Jika sekali di dunia ini aku pernah sejenak
      denganmu,
Aku akan menyembah dua dunia, aku akan menari
       jaya sepanjang masa.
O Syamsi Tabriz, aku begitu mabuk di dunia ini,
Tak ada yang bisa kukisahkan lagi, kecuali tentang
       mabuk dan gila-gilaan.

      Menarik ya pendapat dari Master (Syaikh) dari Tarekat Rifai. Seseorang bisa berguru pada banyak Master, namun pada satu masa seseorang hanya berguru pada seorang Master. Setelah “puas” menimba ilmu pada seorang Master, baru lah dia mencari seorang Master lagi. Seseorang tak bisa memiliki dua Master pada saat yang sama.

      Dan pendapat Master Tarekat Rifai yang menohok adalah haram hukumnya berguru pada seseorang yang levelnya lebih rendah daripada kita. Maksud Master Tarekat Rifai ini tentunya level keilmuan atau level awareness.

      Mengapa ya? Mungkin bila kita berguru pada seseorang yang lebih rendah daripada kita, kita akan menjadi bosan, malas belajar, malas berusaha. Padahal ilmu, awareness itu tak terbayangkan keluasan, ketinggian dan kedalamannya. Ada satu pepatah “beradalah dalam satu lingkungan yang lebih tinggi darimu sehingga engkau akan terangkat.”

      Sangat membosankan bila kita belajar lagi membaca seperti anak SD padahal sudah saatnya kita belajar menulis pada seorang pakar #halaaah. Misalnya kita ingin menulis novel yang bagus belajarlah pada penulis-penulis novel top seperti Ayu Utami, Alberthiene Endah, Amy Tan, Pearl S. Buck, Khaled Khosseini dll. Salah besar bila kita belajar pada seseorang yang level menulisnya di bawah kita. Usaha belajar kita menjadi haram karena membuat kita malas belajar, belajar berusaha, membuat kita sempit, padahal ilmu dan wawasan seluas langit sedalam lautan.

Thanks for writing Najmar.

Namaste Beloved Friends _/l\_

0 komentar:

Posting Komentar

Translate

About Me

Foto Saya
Guruntala
🌹A dam mast qalandar. #BlessingsClinic 🌹Give some workshops: Meridian Face & Body Massage, Aromatherapy Massage with Essential Oils, Make up. 🌹Selling my blendid Face Serum. IG & twitter: @guruntala
Lihat profil lengkapku

Followers

Komentar Terbaru

Visitors

free counters