Jumat, 19 Juli 2013

Hideyoshi Sang Taiko




Buku novel klasik mahakarya Eiji Yoshikawa yang berjudul Taiko” emang sarat falsafah. Walaupun Eiji suka mengutip Sun Tzu, saya suka dengan cerita kebijakan Hideyoshi, Sang Taiko. Saya setuju dengan buku “The Gita of ManagementAnand Krishna, dimana Krishna Sang Avatar lebih cocok untuk menjadi panduan bagi eksekutif muda berwawasan modern dibandingkan dengan Sun Tzu.

Berikut pengantar sebelum tenggelam dalam cerita “Taiko” :
“Menjelang pertengahan abad ke enambelas, ketika keshogunan Ashikaga ambruk, Jepang menyerupai medan pertempuran raksasa. Panglima-panglima perang memperebutkan kekuasaan, tapi dari tengah-tengah mereka tiga sosok besar muncul, seperti meteor melintas di langit malam. Ketiga laki-laki itu sama-sama bercita-cita untuk menguasai dan mempersatukan jepang, namun sifat mereka berbeda secara mencolok satu sama lain; Nobunaga, gegabah, tegas, brutal; Hideyoshi, sederhana, halus, cerdik, kompleks; Ieyasu, tenang, sabar, penuh perhitungan. Falsafah-falsafah mereka yang berlainan itu sejak dulu diabadikan oleh orang Jepang dalam sebuah sajak yang diketahui oleh setiap anak sekolah:
   
 Bagaimana jika seekor burung tidak mau berkicau?
         Nobunaga menjawab, “Bunuh saja!”
         Hideyoshi menjawab, “Buat burung itu ingin berkicau.”
         Ieyasu menjawab, “Tunggu.”

Buku ini, Taiko (sampai kini, di Jepang, Hideyoshi masih dikenal dengan gelar tersebut), merupakan kisah tentang laki-laki yang membuat burung itu ingin berkicau.”

Hideyoshi itu tanggap, pikirannya terbuka, dia punya wawasan. Sebagai pemuda kecil miskin yang berjualan jarum dari kota ke kota, dia bisa membaca sifat manusia, bisa membaca apa yang sedang bergolak di satu kota.

Halaman 131... “Beribu-ribu terima kasih,” Kahei memang tidak membeberkan maksud sebenarnya, tapi Hiyoshi (Hideyoshi) sudah mengerti.

Ketanggapannya mengejutkan orang-orang disekelilingnya, pikir Kahei. Tidak mengherankan kalau sifatnya ini menimbulkan iri dan dengki. Ia tersenyum getir.

Terkesan oleh kebaikan hati orang itu (Matsushita Kahei), Hiyoshi bertanya-tanya bagaimana ia dapat membalas budinya. Hanya orang yang dikelilingi kebiadaban dan ejekan lah yang dapat merasakan kebaikan orang lain sebegitu mendalam.

Suatu hari...suatu hari nanti... Setiap kali ia terkesan atau kewalahan menghadapi sesuatu, kata-kata itu diulang-ulangnya seperti doa seorang peziarah.

Hal 118... Kahei menatap Hiyoshi dari atas kudanya. Ada apa pada diri pemuda pendek berpenampilan acak-acakan dengan pakaian lusuh ini, yang membuatnya begitu terpesona? Bukan kemiripannya dengan monyet, yang malah hampir tidak disadari oleh Kahei. Untuk kedua kali pandangannya melekat lama pada Hiyoshi, namun ia tak sanggup menuangkan perasaannya ke dalam kata-kata. Sesuatu yang kompleks sekaligus tak berwujud seakan-akan menariknya--kedua mata anak itu! Mata manusia biasanya dianggap sebagai cerminan jiwa. Kahei tak melihat hal lain yang bernilai pada diri makhluk kecil dan berkerut-kerut ini, tapi sorot matanya begitu penuh tawa, sehingga tampak segar dan mengandung...apa? Kemauan gigih, atau barangkali impian yang tak mengenal batas?

Hal 136... Makanan bisa ditemui dimana-mana, sebab makanan merupakan pemberian surgawi untuk umat manusia. Ini merupakan salah satu keyakinan Hiyoshi (Hideyoshi). Burung-burung dan binatang-binatang memperoleh karunia dari surga, tapi manusia telah ditakdirkan untuk bekerja. Sangatlah memalukan jika seseorang hidup untuk makan semata-mata. Jika mereka mau bekerja, dengan sendirinya mereka akan menerima rahmat dari surga. Dengan kata lain, Hiyoshi lebih mementingkan bekerja daripada makan.

Setiap kali timbul niat bekerja dalam diri Hiyoshi, ia akan berhenti di tempat pembangunan gedung dan menawarkan tenaganya untuk membantu para tukang kayu atau tukang batu. Jika melihat seseorang menarik kereta berat, ia akan mendorong dari belakang. Jika melihat ambang pintu yang kotor, ia akan bertanya apakah ia boleh meminjam sapu untuk membersihkannya. Tanpa diminta pun ia tetap bekerja atau menciptakan pekerjaan, dan karena ia melakukannya secara sungguh-sungguh, orang-orang selalu memberinya imbalan berupa semangkuk makanan atau sedikit uang untuk bekal di jalan. Hiyoshi tidak malu dengan cara hidupnya, sebab ia tidak merendahkan diri seperti binatang. Ia bekerja untuk dunia, dan ia percaya bahwa segala kebutuhannya akan terpenuhi dengan sendirinya.
...
Hideyoshi seorang yang penggembira, penuh semangat, tanggap, seorang yang piawai berdiplomasi. Tanpa diplomasi Hideyoshi, sulit bagi Nobunaga untuk menjadi Penguasa Jepang. Diplomasi dengan hati yang penuh kasih ini membuat banyak kemenangan tanpa peperangan.

Epilog buku Taiko yang setebal 1142 halaman:
Dalam tahun-tahun yang masih tersisa baginya, Hideyoshi mengukuhkan kedudukannya sebagai pemimpin seluruh negeri, mematahkan kekuasaan marga-marga samurai untuk selama-lamanya. Minatnya terhadap seni menciptakan kemewahan dan keindahan yang sampai sekarang masih dikenang sebagai zaman kebangkitan Jepang. Gelar demi gelar dianugerahkan oleh sang Tenno; Kampaku. Taiko. Tetapi cita-cita Hideyoshi tidak berhenti di batas air; ambisinya menjangkau lebih jauh, ke negeri yang diimpikannya semasa kanak-kanak – negeri para kaisar Ming. Namun di sana pasukan sang Taiko gagal berjaya. Orang yang tak pernah ragu bahwa ia sanggup membalik setiap kesulitan menjadi keuntungan baginya, bahwa ia sanggup membujuk setiap musuh untuk menjadi sahabat, bahwa ia sanggup membujuk burung yang membisu agar menyanyikan lagu yang dipilihnya – akhirnya terpaksa tunduk pada kekuatan yang lebih besar, dan kepada orang yang bahkan lebih sabar. Namun ia meninggalkan warisan yang sampai sekarang tetap dikenang sebagai Zaman Keemasan.

Membaca karya sastra seperti Taiko ini membuat kita menjadi kaya, kaya wawasan. Tak putus-putus saya mengagumi keajaiban sebuah buku ;p

Banyak hikmah yang bisa diambil dari buku tebal Taiko ini...

Hideyoshi lahir sebagai anak petani, menghadapi dunia tanpa bekal apa pun, namun kecerdasannya berhasil mengubah pelayan-pelayan yang ragu-ragu menjadi setia, saingan menjadi teman, dan musuh menjadi sekutu. Pengertiannya yang mendalam terhadap sifat dasar manusia telah membuka kunci pintu-pintu gerbang benteng, membuka pikiran orang-orang, dan memikat hati para wanita. Dari pembawa sandal, ia akhirnya, menjadi Taiko, penguasa mutlak Kekaisaran Jepang.

Demikian ulasan karakter Hideyoshi Sang Taiko...
TerimaKasih... Namaste _/l\_

0 komentar:

Posting Komentar

Translate

About Me

Foto Saya
Guruntala
🌹A dam mast qalandar. #BlessingsClinic 🌹Give some workshops: Meridian Face & Body Massage, Aromatherapy Massage with Essential Oils, Make up. 🌹Selling my blendid Face Serum. IG & twitter: @guruntala
Lihat profil lengkapku

Followers

Komentar Terbaru

Visitors

free counters