Kamis, 30 Januari 2014

Mengenali Permata di Dekat Kita



Seorang pria memainkan biola di stasiun metro di Washington DC. Dia memainkan Bach sekitar 45 menit. Saat itu adalah saat orang-orang berangkat ke kantor. Diperkirakan ada 1100 orang yang melewati stasiun itu.

Yang memberi perhatian besar pada permainan biola ini adalah seorang anak berusia 3 tahun. Namun anak itu diseret oleh ibunya yang sedang terburu-buru. Beberapa anak-anak juga tertarik pada permainan biola itu, namun mereka juga diseret oleh orangtua yang terburu-buru.

Dalam 45 menit permainan biola itu, hanya 6 orang yang berhenti sejenak. Ada 20 orang yang memberikan uang namun mereka tetap berjalan. Musisi biola ini mendapat uang $32. Tak ada yang memperhatikan ketika musik berhenti. Tak ada tepuk tangan, tak ada yang memperhatikan.

Tidak ada yang tahu bahwa musisi itu adalah Joshua Bell, salah satu dari musisi paling berbakat di muka bumi. Dia baru memainkan lagu yang termasuk paling sulit dimainkan, dengan biola berharga $3.5 juta dollar.

Dua hari sebelum bermain di stasiun, tiket untuk menonton Joshua Bell laris manis dengan harga tiket berkisar pada $ 100.

Ini merupakan kisah nyata. Joshua Bell bermain di stasiun metro diatur oleh Washington Post  sebagai bagian dari eksperimen sosial tentang persepsi, rasa dan prioritas dari masyarakat.

Garis besarnya adalah: Pada tempat umum pada jam yang tidak tepat: Apakah kita menangkap satu keindahan? Apakah kita berhenti untuk menghargai keindahan itu? Apakah kita mengenal bakat pada suatu keadaan tak terduga?

Bagaimana kita mengenali manusia permata di sekitar kita?

Sekitar 2500 tahun yang lalu, Guru Lao Tze membicarakan hal-hal yang masih sangat relevan bagi zaman kita sekarang. Korupsi, kolusi dan kemunafikan membuatnya muak. Ia sudah tidak tahan lagi. Ia mengasingkan diri ke suatu tempat yang terpencil.

Ia tidak mendirikan suatu sekte. Ia bicara tentang kesadaran. Kesadaran yang harus diperoleh sendiri, lewat penemuan jati diri, lewat pencerahan.

Ia tinggal bersama beberapa murid. Kendati demikian, bagi Lao Tze, mereka bukan murid. Mereka adalah sahabat, teman seperjalanan.

Bagaimanapun kecemerlangan berlian tidak dapat disembunyikan. Banyak orang mulai berdatangan hanya untuk bertemu dengan Sang Guru. Ia memutuskan untuk pindah ke negara lain. Sudah sejak lama ia mendengar tentang negara Bharat (sekarang India) di balik pegunungan Himalaya.

Pada suatu malam, ia meninggalkan padepokannya –seorang diri—dan berjalan menuju pegunungan Himalaya. Petugas pemerintah yang menjaga perbatasan Cina mengenalinya. Ia merasa beruntung sekali dapat bertatap muka dengan Sang Guru.

Ia seorang petugas yang bijak. Kalau tidak ada dia, Tao Teh Ching pun tidak akan ada. Ia sudah dapat merasakan, perjalanan Lao Tze ke Bharat akan merupakan perjalanan terakhir. Ia tidak akan pernah kembali lagi. Ia bersikeras agar Lao Tze membayar uang fiskal, sebelum meninggalkan perbatasan Cina.

“Temanku, aku tidak memiliki sesuatu apa pun. Ambillah pakaianku yang tidak berguna ini, jika itu yang kau hendaki,” demikian Sang Guru.

“Guru Besar, maafkan aku – tetapi apa nilai pakaianmu? Namun Anda memiliki sesuatu yang dapat dijadikan bayaran,” kata petugas pemerintah.

Dan ia pun membujuk Sang Guru untuk menulis inti sari ajarannya.

Petugas perbatasan ini adalah orang yang bijaksana. Dia bisa mengenali permata. Karena kejelian dia kita semua bisa membaca inti sari kebijakan Guru Besar Lao Tze.

Sila membaca permata-permata dalam buku Mengikuti Irama kehidupan: Tao Teh Ching bagi orang modern karya AnandKrishna. Sila pesan di booksIndonesia.com

TerimaKasih... Namaste _/l\_

0 komentar:

Posting Komentar

Translate

About Me

Foto Saya
Guruntala
🌹A dam mast qalandar. #BlessingsClinic 🌹Give some workshops: Meridian Face & Body Massage, Aromatherapy Massage with Essential Oils, Make up. 🌹Selling my blendid Face Serum. IG & twitter: @guruntala
Lihat profil lengkapku

Followers

Komentar Terbaru

Visitors

free counters