Minggu, 08 September 2013
Membudayakan Pikiran
07.09 |
Diposting oleh
Guruntala |
Edit Entri
Foto dari Facebook: sottosopra69 |
Akhir-akhir ini saya merasa
diperbudak oleh pikiran. Banyak hal yang tidak enak, yang mungkin belum masuk ke
dalam kategori trauma, berkelebat di pikiran saya jika ada kata atau pertiwa
yang mengingatkan saya pada hal tersebut.
Selama ini saya merasa bahwa saya
tidak pernah mengalami trauma berat seperti diperkosa atau menyaksikan
pembunuhan. Ternyata ada juga trauma-trauma yang menghantui saya. Misalnya saya
pernah menyaksikan fitnah terhadap Guru Spiritual ditayangkan berulang-ulang selama
4 bulan di beberapa tv dan media online/cetak . Jika ada sesuatu yang
mengingatkan saya pada peristiwa itu, langsung deh pikiran bergejolak, emosi juga bergejolak, dada berdebar penuh
kemarahan.
Banyak juga trauma-trauma kecil
yang juga muncul bila ada satu kejadian yang mengingatkan saya. Hal ini
menyebabkan saya sangat terganggu. Bukan main pikiran kita itu. Melesat dari
satu pikiran ke pikiran lain dengan kecepatan luar biasa.
Saya pikir saya seorang meditator
yang sering melakukan katarsis. Ternyata jauh panggang dari api. Pertama saya
tidak rutin melakukan katarsis, juga tidak rutin latihan meditasi. Tidak heran
bila pikiran dan emosi sering bergejolak.
Alangkah baiknya bila kita bisa
melupakan peristiwa-peristiwa traumatik. Namun ternyata repot juga jadi orang
pelupa. Tak bisa bekerja mencari nafkah dong
kita bila menderita penyakit lupa. Trus kita menjadi beban bagi orang di
sekitar kita bila kita terkena penyakit pelupa.
Majalah Pesona bulan September 2013 memuat kisah tentang Nani Nurrachman Sutojo, penulis buku Kenangan Tak Terucap: Saya, Ayah dan
Tragedi 1965. Buku itu ditulis oleh Ibu Nani sebagai memoar penyembuh
trauma. Ternyata peristiwa ketika ayahnya diambil paksa oleh Cakrabirawa
menghantui Ibu Nani selama puluhan tahun.
“Memori saya tentang peristiwa 30
September itu memang sangat terbatas. Waktu itu usia saya baru 15 tahun.
Meskipun saya tidak melihat sendiri ayah saya diambil paksa oleh tentara
Cakrabirawa, tetapi suasana di rumah malam itu terasa sangat mencekam. Kami
terbangun oleh suara orang-orang dan derap sepatu lars yang memasuki halaman
rumah. Kami mengunci semua pintu kamar rapat-rapat. “Hampir bersamaan dengan
saya selesai mengunci pintu, ujung sebuah bayonet menembus pintu jati kamar
itu. Untunglah saya masih dilindungi oleh Yang Maha Kuasa, karena telah
melangkah mundur. Sambil terus tiarap kami mendengar suara barang-barang dihancurkan di seluruh
penjuru rumah. Tak usah dikatakan bagaimana takutnya saya saat itu. Seluruh
tubuh saya bergemetar.”
“Beban trauma itu akhirnya tidak
tertahankan lagi. Menjelang pertengahan 1995, ketika kami sekeluarga sedang
bersiap pulang ke Tanah Air setelah suami selesai bertugas di Belgia, saya
didiagnosis menderita kanker payudara. Ketika itu saya sadar, inilah puncak
dari segala akumulasi emosi yang selama ini bersikulasi dalam hidup saya, entah
yang saya pendam atau saya kelola dengan keliru. Inilah klimaks saya.”
Padahal Ibu Nani termasuk pihak yang ditempatkan di posisi yang “menang”
dan “benar” pada tragedi 1965. Bapaknya diangkat jadi pahlawan oleh pihak yang
berkuasa saat itu (Orde Baru). Terbayang kan trauma orang-orang yang orang
tuanya dibunuh karena dituduh PKI. Hidup mereka juga dikucilkan secara sosial
dan politik. Traumanya berlipat-lipat daripada trauma seorang Ibu Nani. Namun tetap
saja Ibu Nani menderita trauma.-noted
Pikiran berguna untuk hidup kita,
membuat kita bisa bekerja dan mencari nafkah. Namun pikiran, yang sulit untuk melupakan, membuat kita
sakit, mulai dari dada berdebar-debar hingga kanker.
Saya pernah mendengar pengakuan
seorang artis survivor kanker di tv. Dia langsung gemetar jika melewati rumah
sakit tempat dia menjalani kemoterapi. Terbayang langsung kesakitan luar biasa
yang pernah dia alami.
Bagaimana agar pikiran tidak
membebani kita? Satu-satunya jalan adalah meditasi. Ternyata katarsis untuk
cleansing memori perlu dilakukan terus menerus. Bagaikan menyapu rumah, harus
setiap hari. Juga penting sekali latihan
Membudayakan Pikiran, Mind Culturing & Self Awareness Meditation.
*bicara-pada-cermin.
Bila ingin belajar “Mind
Culturing” yuk ikutan program Neo Self
Empowerment & Wellbeing di Padepokan Anand Ashram.
Mari membudayakan pikiran
sehingga kita semua menjadi orang yang berbahagia.
TerimaKasih... Namaste _/l\_
Label:
Awareness
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Translate
Blog Archive
-
▼
2013
(108)
-
▼
September
(17)
- Malavita
- Cinta dengan Titik
- Dead Sleep
- The Girl with The Dragon Tattoo
- Aromatherapy for Wellness
- Cerpen-cerpen Kuntowijoyo
- Simple Abundance
- Meniti Hidup Penuh Kegembiraan
- Makanan dan Minuman untuk Kebugaran
- 108 Power Pills of Wisdom
- Tips Membaca Efektif
- Belajar dari Perempuan Titik Nol
- Berkah Melimpah
- Berkarya dengan Motif Transpersonal
- Membudayakan Pikiran
- Perspektif yang Asyik
- The Most Successful Person on Earth
-
▼
September
(17)
About Me
- Guruntala
- 🌹A dam mast qalandar. #BlessingsClinic 🌹Give some workshops: Meridian Face & Body Massage, Aromatherapy Massage with Essential Oils, Make up. 🌹Selling my blendid Face Serum. IG & twitter: @guruntala
0 komentar:
Posting Komentar